Suara Rindu
waktu terus berlalu meninggalkan seluruh asa yang dulu pernah menggelayut dalam jiwa, sebuah ambisi untuk memiliki, namun kandas, setelah tahu cinta tak bisa dipaksakan dan cinta ‘tak harus memiliki. Nun jauh di lubuk hati Rama, masih merindukan gadis pujaannya. Matahari semakin tinggi di atas permukaan bumi, menebarakan hawa panas memanggang setiap sesuatu yang ada di bawahnya,
“Rama, hati-hati! cuaca panas seperti ini biasanya banyak orang yang hilang keseimbangannya, apalagi kamu baru sembuh dari sakit!”
“Ibu ‘gak usah khawatir, Rama bisa jaga diri, lagian sekolahnya Rani ‘kan ‘gak terlalu jauh!” Rama mencium tangan ibunya yang mulai keriput. Ia mengerti, betapa ibunya sangat menyayanginya. Sesaat ia pandangi mata yang penuh dengan kecemasan itu, lalu berlalu meninggalkan perempuan itu dengan senyuman. Di jalan Gatot Subroto, Rama berdri di samping warung kelontong, menatap pintu gerbang sekolah ternama di Bekasi Utara. Di situlah adiknya, Rani, belajar demi mewujudkan harapan sang Ayah yang menginginkan anaknya menjadi orang yang berguna, Rani dalam hati keclinya ingin menjadi Dosen, mengabdikan diri pada masyarakat dan bangsa. Itulah yang ia katakan ketika Rama menanyakan apa cita-citanya. Hampir dua puluh menit Rama menunggu, air mineral yang ia beli di warung samping, sudah kosong. Namun adiknya tetap tak tampak. SMU 8 bekasi Utara itu sudah mulai sepi.
“Kemana perginya, Adiku?“ Bisik hatinya. Hampir saja Rama hilang kesabarannya dan pergi meninggalkan Sekolah. Ia terhenti, ketika suara seorang gadis memanggil namanya
“Kak, Rama!” Rama tertegun memperhatikan gadis itu.
“Kenapa harus betemu lagi?” Bisik Rama pelan.
“Hey! Kamu belum pulang?” Sambung rama.
“Belum, Kak!” Jawabnya dengan raut sedikit murung. Rama sedikit kikuk melihat perubahan sikap gadis itu.
“Kak, aku dengar dari Rani katanya Kakak sakit? Kok sekarang udah panas-panasan gini, sih?”
“Kemarin-kemarin memang, tapi sekarang udah lumyan.” Balas Rama tanpa menatap gadis itu.
“O ya, kamu tadi ketemu Rani, ‘gak?” Tanya Rama.
“Kita ngobrolnya di warung bu Inah aja yuk, kak. Pegel! dari tadi berdiri terus.” Ajak gadis itu. Tanpa pikir panjang ia langsung menarik tangan Rama. Rama hanya diam melihat gadis itu menggenggam telapak tangannya.
“Nah, disinikan lebih enak! Kak Rama makan apa?” Tawar gadis itu
“Aduh, Shin! Aku ke sini mau jemput Rani!”
“O ya, aku lupa, tadi aku ketemu Rani, katanya kalau ketemu Kak Rama minta di tunggu sebentar lagi, soalnya dia masih ngumpul bersama Pembina PMR.”
“Sekarang Kak Rama mau makan apa?“ Tawarnya kembali. Raut Rama masih menunjukan sikap agak tak percaya.
“kak Rama ‘gak percaya sama aku, ya?” Tanya gadis itu
“Siapa bilang aku ga percaya!” Balas Rama
“Tapi, kok diem sih. Kayanya ‘gak percaya deh!”
Rama tak tahu harus bagai mana lagi, ia ‘tak mau gadis itu pergi. Tapi juga tak tahu harus berbuat apa kalau ia ada di sisinya. Detak jantungnya semakin kencang. Debaran hati tak menentu. Sedikit tubuhnya bergetar. “Perasaan apa ini?” Rintihnya dalam hati. Perasaan itu baru kali ini dideritanya.
“Kak Rama sakit lagi ya. Kok diem?”
“Nggak!” Jawab rama simpel.
“Kamu ‘gak telat ntar?” Tanya Rama. Gadis itu hanya diam memandang jalan yang penuh dengan kendaraaan. Rama hanya diam menahan kata yang sebenarnya banyak sekali ingin di ucapkan. Ia takut setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa salah di ucapkan.
“Kak Rama!” Akhirnya gadis itu memecah keheningan.
“Iya.” Jawab Rama sedikit bergetar.
“Kenapa sih, kayanya Kak Rama benci sama aku?” Sambung gadis itu. Rama kaget! Mendengar pertanyaan itu. Sungguh, tak pernah terpikirkan olehnya kalau gadis itu akan menanyakan hal seperti itu. Hati Rama seakan ingin berteriak, “Tidak! Tak ada benci dalam hatiku. Mana mungkin aku membenci gadis yang paling aku cintai.” Tapi mulutnya tia sejalan dengan apa yang ingin diucapkan.
“Kak rama, kok diem sih. Kitakan sudah kenal lama, kenapa kak Rama seperti baru mengenal aku?”
Rama merasa terjepit. Lidahnya kelu. Tak bisa mengucapkan sepatah katapun. Ia tetap terpaku dengan sikapnya. Diam seribu bahasa. Menahan rasa yang menggelora. Sepintas ia pandang wajah gadis itu, ada keluguan yang terpancar dari rautnya. Sekuntum bunga yang mekar di taman Istana terjaga dari berbagai jenis hama dan kumbang, serta ‘tak pernah tersentuh oleh tangan-tangan jail. Mungkin itu ibarat yang tepat untuk menggambarkan kehidupan gadis itu. Walau hidup bak dalam Istana, ia sangat ketat dengan dunia luar.
“Kak Rama, aku ‘gak mau ka rama memanggil aku dengan sebutan kamu, aku ingin kak Rama panggil dengan namaku saja.” Lanjut gadis itu dengan wajah sedikit memerah. Ia sadar kenapa gadis itu terus murung ketika ia memangilnya, tanpa menyebut namanya. Sebuah senyum tergambar. Betapa bahagianya ia mendengar ucapan lembut dan malu-malu itu.
“Mmm, Shin!”
“Yang lengkap dong!” Sambung gadis itu sambil menyunggingkan senyum kearahnya.
“Mmm, Shinta!” Namun tetap Rama tak bisa melanjutkan kata yang ingin di ucapkannya,
“Ya?”
Wajah Rama memerah. Shinta terus memandangnya dengan senyum manis seperti menggoda. Dia tak lagi murung ketika Rama menyebut namanya.
”Shinta ‘gak takut di cariin? Udah jam dua lebih seperempat, lho!” Sambung Rama dengan suara bergetar.
“Aku nunggu jemputan. Biasanya pak Shobir ‘gak telat.” Jawab Shinta malu ketika rama memandangnya. Bu Inah yang dari tadi memperhatikan hatikan, tersenyum-senyum.
”Nak Shinta dan nak Rama pesen apa? Diem-dieman terus?” Tanya bu Inah yang membuat mereka berdua tertawa.
“O, iya bu, sampai lupa.” Jawab Shinta.
Belum sempat mereka memesan makanan, dari arah gerbang sekolah Rani berlari-lari kecil ke arah mereka, sambil tersenyum menggoda.
”Rama dan Shinta akhirnya bersatu juga.”
“Rani!” Balas mereka serentak. Rani menyeringai. Lalu dengan manjanya ia langsug cipika cipiki dengan sinta dan mencium tangan kanan kakanya.
“Kak Shinta dan kak Rama udah dari tadi nungguin aku ya?” Tanya Rani sambil menyerobot duduk ketengah-tengah mereka.
“Eh, Rani apa-apaan sih. Iya, udah lama tahu! Satu jam.” balas Rama marah
“Sori deh, kak. Aku ‘gak tahu kalau kumpulnya akan selama itu.” Lanjut Rani sambil pura-pura memohon maaf, menggenggam telapak tangan kakaknya. Shinta tersenyum melihat keakraban itu. Ia merasa iri, kenapa di tengah-tengah keluarganya tak ditemukan hal demikian. Ia memang mempunyai seorang adik lelaki, tapi baru kelas tiga SD, sedangkan ayah ibunya sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
“Hey, sudah-sudah. Gimana kalo kita makan sambil nunggu jemputanku.” Tawar Shinta.
“Bener kak, kebetulan sekali aku laper banget!” balas Rani. “Tapi siapa yang bayar, nih?” Lanjutnya.
“Biar aku yang traktir kalian.”
“Eh, Shinta, ‘gak usah. Biar aku yang bayar.” Sela Rama.
“’gak papa. Sekali-kali bolehkan?”
Rama hanya diam sambil mencubit tangan rani.
“Ih, kakak apa-apaan sih, sakit tahu!”
“Eh, Berantem lagi. Udah! sekarang kak Rama sama Rani pesen apa?” Shinta menengahi.
“Kak shinta, aku pesen mi goreng aja deh!” pinta Rani
“Kak Rama mi goreng juga?”
”Oh ‘gak, batagor aja”
“Batagor?! Kak Rama suka batagor juga? Kok sama ya?” Sambung Shinta.
“Ceile, kayanya udah jodoh ni.” Celetuk Rani, membuat kakanya salah tingkah.
“Bu Inah! Mi goreng satu. Batagor sepesial dua!” pinta Shinta dengan wajah memerah.
****
Tiga hari berlalu, setelah pertemuan rama dan shinta yang kedua. Banyak sekali sisa-sisa rindu, terus barkata-kata dalam hatinya. Kuliahnya di jurusan bisnis dan menejemen hampir rampung. Minggu-mingu inipun ia sudah mulai ujian praktek. Namun, dalam dirinya masih ada sesuatu yang mengganjal. Ruang rohani yang kosong, membuat dirinya seperti ‘tak punya tujuan hidup. Kehilangan jati diri dan susah untuk menentukan masa depann. Sebenarnya pelajaran yang ia terima di kuliah dan fasilitas yang ditinggalkan ayahnya, sudah mampu untuk bisa merubahnya, sebuah perusahaan Tekstil dan Batik. Ibunya sudah berkali-kali mengingatkann, bahwa selesai kuliah ia harus menggantikan posisinya sebagai Direktur, sesuai dengan amanah ayahnya sebelum meninggal, yang menginnginkannya menjadi seorang pengusaha sejati. Tapi, ketika ibunya menanyakan hal itu, ia selalu menjawabnya belum siap, ia masih belum tahu bagaimana menjadi seorang pengusaha yang benar-benar di inginkan ayahnya, seorang pengusaha yang bukan hanya sukses, tapi juga berpengaruh dan bisa menunjukkan para karyawannya kepada jalan Tuhan, sepeti itulah nasehat yang ia dengar terakhir kali dari ayahnya.
“Bu, kalau Shinta telpon nanyain Rama, bilang aja ke rumah om Zaky.” Pinta Rama pada ibunya. Ibunya sedikit heran.
“Rama ‘gak berani, kalo sedang bicara penting sama om Zaky ada yang telpon.” Jelas Rama.
“Kenapa ‘gak Rama ajak sekalian ketemu sama ustazd Zaky. Itung-itung ngenalin Shinta.”
“Ah, ibu! Ada-ada aja. Ngangkat telpon didepannya aja, Rama ga berani. Apalagi mengenalkannya. Juga, belum muhrim.” Balas Rama dengan senyum mengembang. Mencium tangan ibunya, lalu pamit. Dari balik jendela rumah, ibunya memperhatikan dengan penuh penuh haru.
“Kamu semakin dewasa Nak. Semakin besar pula tanggung jawabmu, kalau ayahmu masih hidup, pasti dia akan bangga melihatmu sudah makin berkembang.” Lirih ibunya pelan. ‘Tak terasa air matanya sudah membasahi kedua pipi. Dari arah belakang, Rani melihat heran. Cepat dia menuju ibunya, lalu memeluknya mesra.
“Ibu kenapa?”
“ibu ‘gak apa-apa sayang.” Sambil mengusap air mata diwajahnya.
“’gak apa-apa kok wajah ibu basah?”
“Enggak, ibu cuma ingat Ayahmu. Kamu udah makan sayang?” balas ibunya balik bertanya sambil mencium kening Rani.
“Belum!” Jawab rani singkat.
“Kalo gitu, kita makan sama-sama yuk?” Ajak ibunya sambil menuju tempat makan yang ada diruang tengah.
“Ibu, kak Rama pergi ya?” Tanya rani
“Iya, katanya ada perlu sama om Zaky.” Jawab ibunya sambil mengisi piring nasi Rani.
“Iih, kak Rama! Kenapa ‘gak ngajak aku, sih?” Rengek Rani dengan wajah cemberut. Ibunya hanya tersenyum melihat sifat anaknya yang manja itu.
****
Rama sampai di sebuah halaman rumah sederhana, tapi indah. Hampir di sekeliling rumah itu di tumbuhi tanaman-tanaman hias, serta bunga yang berwarna warni. Sangat damai sekali ketika mata memandang. Seakan jiwa terlepas dari segala beban hati dan pikiran. Sampai di sebuah taman bunga kecil, hidung Rama mencium wangi bunga yang alami, lalu dihirup wangi bunga itu sekuat tarikan nafasnya, seolah tak pernah ia mencium wangi bunga itu sebelumnya.
“Benar-benar damai disini.” Desisnya.
Dari jauh, seorang lelaki berumur, sekitar lima puluh tahun, memperhatikannya. Sebuah senyum langsung tergambar diwajahnya ketika ia bertatapan dengan Rama. Rama pun membalasnya dengan senyum. “Assalamualaikum, Om.” Sahut Rama, lalu mencium tangan kanan lelaki itu.
“Wa’alaikum salam. Sendiri?” Jawab lelaki itu sambil balik bertanya. “Iya, Om.” Jawab Rama singkat.
Ustadz Zaky adalah salah satu teman karib ayahnya ketika di SMP. Dia duduk satu bangku dengan ayahnya, hingga tamat sekolah. Tapi, ketika keduanya melanjutkan ke sekolah tinggi, mereka mengambil jalan masing-masing. Ayahnya memilih ke Sekolah Menengah Atas di daerah perbatasan, antara Jakarta dan Bekasi. Sedangkan Om-nya, Ustadz Zaky lebih memilih melanjutkan ke pondok Pesantren di daerah Jawa Timur. Walau demikian, hubungan diantara mereka berdua tidak pernah terputus, hingga mereka mencapai impian dan cita-cita masing-masing, Waktu kecilpun Rama sering diajak bermain ke rumah Om-nya itu. Setelah beranjak dewasapun Rama tak pernah segan untuk berkunjung sendiri bila ada sesuatu yang ingin ia tanyakan. Ustadz Zaky pun sudah menganggapnya seperti anaknya sendiri. “Bagaimana kabar ibu dan adikmu?”
“Alhamdulillah, sehat semua Om. ”
“Tante Zulfa ‘gak ada di rumah Om?”
“Iya, kebetulan Om sedang sendiri. Farid masih di kampus. Tante Zulfa dan Angga lagi nengokin Putri di Banten.” Jawab ustadz Zaky
“Begini, Om. Aku masih bingung. Ibu terus mendesaku untuk menggantikan posisinya di kantor, walau kuliahku di bisnis management sebentar lagi rampung, tapi aku rasa bekal yang aku miliki masih belum cukup, aku masih merasa ada yang kurang, jiwaku masih terasa kosong, Om.” Terang Rama sama omny.
senyum ustadz zaky mengembang.
“Rama, Om ngerti apa yang kamu risaukan. Tanggung jawab besar yang ada di pundakmu tidak cukup hanya dibekali dengan ilmu dunia, ilmu akhirat pun harus kamu kuasai. Jika tidak, semua yang kamu usahakan itu akan sia-sia. Om masih ingat ketika almarhum ayahmu masih hidup, dia sangat menginginkan kamu sukses, bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat. Om hanya bisa menyarankan, untuk mengisi ke kosongan ruhiyahmu, kamu harus belajar ilmu agama yang lebih lagi, sekalian kursus bahasa arab, kamu bilang katanya mau mendalami ekonomi syariah di Mesir, lebih baik kamu kuliah dulu aja di fakultas Syariah al-Azhar, habis itu baru ngambil ekonomi syariah di Inggris.”
Waktu terus berlalu, tak terasa sudah satu tahun lebih ia berada di Banten. Rama mengikuti apa yang di katakan omnya, mendalami ilmu agama dan juga bahasa Arab di Pesantren tempat anak omnya mendalami ilmu agama juga. Dan besok, adalah hari perpisahan dia dengan ibu, adik, dan juga Shinta, ia berkata dalam hatinya,
“Saat ini masih banyak yang harus dipikirkan dari pada cinta, agama dan negara lebih memerlukan aku dari pada Shinta Dan sekarang, saatnya aku untuk membuktikan semuanya.”
Dan pasawat itu pun hilang dari pandangan mata.
0 komentar
Posting Komentar