We Are With You

We Are With You
The help of Allah is always near

RELEIVE GAZA'S ORPHANS

RELEIVE GAZA'S ORPHANS
Mari kita bantu saudara kita!

Karyaku

Karyaku
Ya Allah Semoga Bisa Diterbitkan

Followers

Kisah Dalam Gambar Slideshow: Rama’s trip from القاهرة, مصر to 3 cities جدة, مكة المكرمة and الزقازيق was created by TripAdvisor. See another مصر slideshow. Create your own stunning slideshow with our free photo slideshow maker.

Rabu, 07 April 2010

Memory 2006 with Tajul Ilmi



Century 2006 With Tajul Ilmi                                                                                      

26 Juni 2005, salah satu tanggal yang paling bersejarah dalam diari hidupku. Hari itu adalah hari aku diwisuda dipondok Pesantren Modern Manahijussadat, hari dimana aku harus meninggalkan tanah air tercinta, keluarga, orang-orang yang paling aku sayangi, dan pondoku tercinta yang telah  membuat aku mampu untuk menatap dunia dengan mata terbukaBeribu rasa terpatri dalam hatiku berbaur menjadi satu, bahagia dan gembira karena aku telah mampu menyelesaikan waktu 4 tahun dipondok pesantren yang penuh berbagai macam aturan dan disiplin, berbagai macam hukuman, dan berbagai macam pelajaran yang berbahasa asing, arab dan inggris. Berbicara sehari-hari pun harus menggunakan bahasa arab dan inggris “waduh! Abdimah teu tiasa nyarios nganggo bahasa arab, komodeui bahasa inggris, da abdi mah urang sunda kumaha atuh?” Itu mungkin ta’aruf pertama saya dengan pondok pesantren, perkenalan yang masih sangat dangkal, kalau kata pak kiayi seperti orang buta meraba gajah atau seperti kera makan manggis, berbagai macam teori akan mereka simpulkan tentang pondok pesantren karena kejahilan mereka mereka sendiri. Waktu itu aku melihat pondok pesantrenku hanya sebuah penjara suci yang penuh dengan penderitaan, jauh dari keluarga, teman-teman, tidak bebas bermain, semuanya penuh dengan keterbatasan yang mengekang. Rasanya malu sekali bila mengenang masa itu, masa metamorposis penantian ku untuk menjadi kupu-kupu.

Sedih, sangat sedih, Itu yang kurasakan juga pada waktu itu. Empat tahun rasanya waktu yang sangat lama, dan dimasa empat tahun itu juga sebuah ikatan terajut perlahan, namun sangat kuat. Persahabatan, persaudaraan, ukhwah yang sangat erat yang didasari cinta dan kasih sayang karena Allah, saling berbagi, saling mengasihi, dan saling menyangi, seakan kami  semua adalah saudara kandung yang terlahir dari satu ibu. Tapi memang benar, kami semua adalah saudara kandung yang terlahir dari rahim ibu yang sama, MANAHIJUSSADAT. Seorang ibu yang telah mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, dan cinta. Ia akan mengingatkan kami ketika kami lupa, ia akan menegur kami ketika kami lalai, dan ia akan menghukum kami ketika kami bersalah. Baru kusadari sekarang semua itu demi kebaikan ku sendiri, baru kusadari sekarang, marahnya ibu sebenarnya adalah cinta yang terbesar untuk anaknya, hukuman yang diberikan seorang ibu adalah kasih sayang yang tiada terganti demi anak yang sangat dicintainya, ia tidak mau anaknya melakukan kesalahan, karena ia tahu anak-anaknya akan menjadi panutan ditengah masyarakatnya, seorang panutan yang akan ditiru dan contoh oleh setiap mata yang melihatnya, karena itu ibu akan menghukum kami ketika kami melakukan kesalahan, walaupun itu hal yang sangat kecil.
 Sudah menjadi sunatullah, setiap pertemuan pasti ada perpisahan, mau tidak mau aku dan semua sahabat-sahatku harus bisa mengikuti alur yang sudah ditentukan, tidak selamanya kami harus selalu bersama, dan hari itu kami semua menangis karena kami harus berpisah tanpa mengetahui kapan pastinya kami bisa bertemu, berkumpul dan tertawa kembali bersama.

Setelah itu semua, pondokku terasa sepi, sangat sepi. semua sahabatku telah pergi membawa amanat yang besar dipundak mereka, disadari atau tidak oleh mereka, kepergian mereka dari pondok pesantren mengemban misi “amal ma’ruf nahi munkar”. Karena seorang santri dan santriwati selamanya tetap santri, apapun setatus mereka kelak dimasyarakat, ketika dia menjadi seorang pengusaha, ketika dia menjadi seorang kariawan, ketika dia menjadi seorang aparatur Negara, ketika dia mnejadi pejabat, apaun setatusnya title santri itu akan tetap ada dalam diri mereka. Sangat tidak enak sekali didengar ketika ada istilah mantan santri, dan aku tidak mengharapkan itu terjadi pada diriku dan sahabat-sahabatku. “selamat berjuang sahbatku semog Allah berkatimu, kenangan indah bersamamu tak kannubiar ia berlalu, berjuanglah hingga keakhirnya dan ingatlh ikrar kita”. Sepenggal bait nasyid brother terngiang dalam benaku, mengiringi kepergian sahabatku satu persatu. Hingga senja sore itu memeluku dalam heningnya.

Episode baru dalam kehidupanku di Manahijussadat, aku ditunjuk memerankan peran lain, aku diamanati oleh pak kiyai untuk mengabdi dipondok, rasa sedih itu sedikit berkurang karena ternyata aku tidak harus pergi secepatnya meninggalkan tempat yang paling bersejarah dalam hidupku. Tepatnya kami berlima, saya sendiri, Nasrun, Dayat, Nuning, dan Yulia. Semuanya terpilih untuk tetap dipondok, mengabdikan diri untuk bisa membentangkan sayap pondok pesantren, amanat yang sangat besar dan penuh tantangan. Mau tidak mau akupun harus bisa seperti mereka orang-orang yang sudah mendidiku, Wali kelasku dikelas 1 eks, tiga eks, kelas 5 dan wali kelasku dikelas terakhir, beliau-beliau lah yang banyak memberikan insfirasi dalam hidupku dipesantren, dan ketika aku harus mengabdipun aku masih banyak memetik pelajran dari beliau semua. Hingga akhirnya akupun harus seperti mereka menjadi seorang wali kelas.

Masa ajaran baru dipondok pesantrenku adalah awal yang sangat menyenangkan, semua santri datang dengan keadaan otak yang sudah terrefresh, setelah satu tahun lamanya berkutat dengan hapalan dan pelajaran yang begitu banyaknya, akhirnya ada waktu senggang untuk sedikit berlibur. Walaupun tidak sedikit dari santri yang sudah berlibur mereka tidak mau lagi kepesantren, hal itulah yang mungkin perlu dikaji lagi oleh setiap elemen pondok pesantren.  Selain itu juga tahun ajaran baru adalah tahun kedatangan santri-santri baru, semangat baru, dan kerja keras baru untuk bisa menjaga amanat para wali santri yang menitipkan anaknya dimanahijussadat. Tak terasa aku sudah tidak seperti dulu lagi, aku sekarang tidak seprti aku yang dulu duduk dikelas satu sampai kelas enam, sekrang title UST sudah berada didepan namaku, aku sudah dipanggil ustadz oleh setiap penghuni pondok, rasanya berat sekali dipanggil dengan sebutan ustadz, karena panggiln ustadz hanya cocok bagi orang yang sudah mumpuni dibidang agama atau yang sering kita kenal dengan orang yang tafaquh fi din. Sedangkan aku hanya orang awam yang hanya sedikit mengerti tentang agama, bahkan sangat sedikit. Tapi aku teringat oleh perkataan pak kiyai, “setiap santri harus siap dipimpin dan memimpin, siap diajar dan mengajar, siap dididik dan mendidik”. Kata-kata itulah yang memberikan sugesti kepadaku untuk bisa hidup disegala medan, kapan dan dimanapun. Walaupun title ustadz sudah aku sandang aku tidak akan pernah lupa kalau aku adalah santri, santri yang masih perlu bimbingan dari pak kiyai dan semua guru-guruku dipondok, aku masih perlu mendengar kuliah etiket yang disampaikan oleh pak kiyai menjelang liburan, aku harus tetap menjaga sholat lima waktuku dimesjid berjamaah dengan para santri yang lainnya, dan aku harus tetap mengikuti peraturan-peraturan yang sudah dibut oleh OPPM, berbicara bahasa arab dan inggris ketika bertaamul dengan para santri. Karena perinsipku sekali menjadi santri selamanya harus tetap santri. Gelar itu tidak pernah pupus walaupun aku sudah lulus dari pesantren dan menjadi seorang pengajar disana.

Awal tahun ajaran baru inipun aku mengenal kawan-kawan baru, adik-adik baru dari berbagai pelosok daerah,Jakarta, jawa, banten, dan Sumatra. Awal pengabdian yang sangat menyenangkan. Aku masih ingat ketika Ustadz Naja memanggilku kegubuknya katanya ada berita penting yang harus disampaikan padaku, sore itu pun aku langsung menuju ke tempatnya “selamat ya, antum diamanati untuk menjadi wali kelas kelas satu B” ucap ustadz Naja padaku.

Aku sangat kaget dan tertegun mendengar berita itu, walik kelas apakah aku mampu untuk menjadi wali kelas, kebiasaan buruku langsung bereaksi dalam tubuhku seperti virus yang menggerogoti setiap komponen computer, “rasa pesimis”. Itu lah virus yang sangat berbahaya yang baru aku sadari belakangan ini setelah aku berada di mesir. Aku mulai mengeluh didepan Ustadz Naja “Tadz kenapa harus ana, kenapa tidak yang lain saja”. Dalam pikiran ku langsung berkelebat kalau aku tidak mampu untuk menjadi seorang wali kelas.
“ini bukan keputusan penuh dari bagian pengajaran pondok, Mudirul Ma’had yang langsung memilih antum untuk menjadi Wali kelas, tenang saja ustadz Romdhon antum pasti mampu” Ustad Naja melanjutkan.
Aku hanya terdiam dan saat itu juga aku teringat kata-kata pak kiyai “ siap dididik dan mendidik” dengan mengucapkan “Bismillahirahmani Rohim” aku menerima amanat itu dengan wajah tersenyum.
“dan satu lagi ustadz Romdhon nanti malam ba’da isya kita kumpul dimesjid  ada acara pengenalan Wali kelas  sama anak-anak baru” sambung Ustad Naja.
“Insya Allah tadz” jawabku

Waktu berlalu dengan cepat, banyak hal baru yang kujadikan pelajaran berharga setelah aku mengabdi, membuat I’dad jauh hari sebelum mengajar, membawanya kepada Ustadz Hasan untuk dikoreksi dan dibetulkan menjadi Rutinitas hampir setiap hari. Setelah menjdi walik kelas pun frekuensi membacaku sedikit bertambah setiap bulan aku sempatkan untuk membeli buku walau hanya satu, dan momen yang paling indah ketika menjadi wali kelas adalah ketika aku berkumpul bersama mereka, mengajar mereka dikelas, mengajak mereka belajar diluar kelas berkeliling kampung, mengaji bersama di gubuk, mendengar keluhan mereka ketika mereka merasa tidak betah di pondok, memberikn nasihat kepada mereka, menatap wajah lugu mereka satu persatu, hingga menghibur mereka ketika mereka menangis. Semua itu telah terajut menjadi lukisan indah kenangan abadi yang tak akan pernah terhapus untuk selamanya. Setiap saat rasanya aku ingin selalu bersama mereka, ketika aku harus pulang rasanya aku ingin cepat kembali kepondok, bahkan sampai mereka  bosan Karena seringnya berkumpul. Hingga mereka pun paham dengan kepribdianku dipondok, aku seperti ayah buat mereka dan juga ibu untuk mereka, aku seperti kakak untuk mereka, dan juga sahabat bagi mereka. ketika aku tersenyum didepan mereka, mereka mengerti aku sedang bahagia bersama mereka, ketika aku diam mereka mengerti aku sedang marah pada mereka dan mereka sadar ada sikap mereka yang membuat aku marah, besoknya ketika aku sudah berada dikelas bersama mereka, mereka bisa membuat aku tersenyum kembali.

Satu hal yang hampir aku lupa, kalau aku mempunyai dua orang asisten yang membantuku mendidik anak-anaku, Ajro Wilpa dan Udas MH, terima kasih untuk antum berdua, dimanapun kalian berada semoga Allah memudahkan jalan kalian berdua, dan dimudahkan dalam pencapaian cita-cita
Tiga ratus enam puluh lima hari bersama mereka seperti seratus tahun hidup dalam istana kebahgiaan, beribu kenangan yang terjalin bersama mereka tak bisa kutulis satu persatu dalam buku harianku. hingga datang masanya aku harus pergi meninggalkan mereka, pergi jauh melintasi samudra dan benua menapaki gurun pasir, menerjang panasnya sengatan sinar matahari. Sebenarnya aku ingin selalu bersama mereka, menemani mereka sampai mereka berdiri dipanggung wisuda. Tapi niat itu  harus aku urungkan karena keadaan yang mengharuskan aku pergi, dengan perasaan masygul aku hanya bisa menyimpan kegelisahan itu dalam hati.
Hari itu langkahku gemetar, lemas tak tentu arah. Padahal aku yakin mereka sudah menungguku dikelas, kerna hari ini adalah pelajaran bahasa arab pelajaran terakhir yang harus aku sampaikan pada mereka, entahlah, ada perasaan yang berbeda yang menjangkitiku secara tiba-tiba ketika detik-detik terakhir itu mulai menypaku. Dari jauh kulihat tulisan “APA YANG KAU CARI DIPONDOK” tertulis besar dengan hurup capital berwarna hijau tua diatas genting kelas mereka, satu tahun mereka bersamaku semoga mereka paham dengan makna tulisaan itu, tulisan besar yang penuh dengan makna filosofis kepesantrenan, tapi banyak juga dilupakan oleh santri. Hanya santri yang mau berpikir yang bisa mengerti makna dibalik tulisan itu. Kulihat kelas waktu itu sangat senyap dan sunyi seolah tak ada penghuninya. Sesampainya dipintu Aku sedikit kaget melihat keadaan mereka, wajah mereka terlihat kusut lemas tidak ada sedikitpun gairah untuk belajar, rasanya tidak mungkin untuk memaksakan mereka belajar dalam keadaan seperti ini, dan untuk mengobatinya aku harus bisa mengambil inisiatif yang lain. “assalamualaikum warhmatullahi wabarakatuh” kuawalai menyapa mereka dengn salam.
“walaikum salam warahmatullahi wabarakatuh” jawab mereka lemas.
   ”madza darsukumul an ?” tanyaku lagi pada mereka
“Darsunal an al hikayah” jawab mereka serentak
“al hikayah” aku merasa lucu dengan jawaban mereka, “ok, kalian mau cerita apa? Tentang sikancil yang jenius, atau si angsa yang baik hati” selorohku pada mereka.
“hahaha, ah ustadz memangnya kita anak-anak TK apa? Yang lain lah ustadz” jawab salah satu dari mereka.
“lagian, kalian sih minta cerita, sebenarnya ada apa dengan kalian kok pada lemes?”tanyaku pada mereka.
“iya soalnya mau ditinggalin sih sama ustazd” sambung salah satu diantara kalian.
“Ustadz, kenapa sih ustadz harus kuliah di Mesir gak disini aja, kan kita masih pengen terus sama  ustadz” balas salah satu diantara mereka lagi.
Aku semakin merasa tersudut dengan pertanyaan itu, mungkin kalau aku perempuan aku sudah menangis didepan mereka karena perasaanku yang mengharu biru, tapi aku masih bisa menahan perasaanku agar bisa tetap tersenyum didepan mereka.
“kalian tahu, setiap orang pasti memiliki harapan dan cita-cita, termasuk kalian, kenapa kalian ada disini belajar disebuah pondok pesantren, karena kalian memiliki harapan dan cita-cita, walaupun sebagian diantara kalian masuk pesanteren karena keinginan orang tua bukan keinginan sendiri, itu berarti orang tua kalian memiliki harapan dan impian yang besar dari kalian, karena setiap orang tua pasti mengingankan yang terbaik untuk buah hatinya, mereka ingin kalian lebih baik dari mereka, dari segi agma ataupun ilmu pengetahuan, dan yang terpenting mereka menginginkan seorang anak yang berakhlaqul karimah, berbudi pekerti yang baik dan bisa menjdi kebanggaan keluarga, makanya kalian dititipkan kepesantren, ustadz sudah menyampaikan kepada kalian berkali-kali, orang tua kita memasukan kita kepondok pesanttren bukan berarti mereka tidak sayang terhadap kita, tapi malah sebaliknya itu adalah tanda sayang orang tua kalian, kenapa harus kepesantren tidak kesekolah islam umum saja yang ada diluar? Karena hanya pesantren yang memberikan pendidikan dua puluh empat jam penuh, setiap gerak langkah kita disini semuanya disesuaikan dengan ajaran-ajaran agama kita, yang berlandaskan kepada al-qura’an dan sunnah. Kalian mengerti?”
“mengerti ustadz”.
“Sama seperti kalian semua, ustadz pun demikian, memiliki harapan dan cita-cita, kenapa harus ke Mesir? Karena ustadz ingin menggli ilmu islam langsung dari sumbernya, dan setelah pulang dari sana ustadz bisa mengabdikan diri ustadz untuk kalian, pondok pesantren ini, orang tua ustadz dan keluarga ustadz, yang terpenting ustadz bisa mengabdikan diri ustadz untuk umat, untuk keperluan islam. Ustadz harap kalianpun memiliki cita-cita yang tinggi sama seperti ustadz”.
“Karena kalian ingin cerita, baiklah ustadz akan menceritakan sesuatu untuk kalian, mudah-mudahan kalian bisa memetik hikmah dari cerita ustadz nanti”. Wajah mereka mulai memperlihatkan mimik yang serius.
“Waktu itu adalah waktu yang paling menyenangkan dipondok, karena ustadz dan kawan-kawan ustadz semua hanya tinggal menunggu hitungan bulan untuk tinggal di pondok, sebentar lagi kami semua akan selesai dari pondok, dan melanjutkan belajar kami ketingkat universitas, setipa sore sehabis bermain bola kami semua selalu berkumpul di lapangan badminton yang ada didepan kelas kalian, bercanda tertawa, sampai berbicara masalah masa depan mau kemana kami setelah selesai dari sini, tanpa ada seorang penguruspun yang berani mengganggu kami karena waktu itu kami semua sudah menjadi malikul ma’had, sang penguasa pondok. Hingga datang malampun kami selalu berkumpul seakan kami sudah saling merasakan bahwa kami akan berpisah, diantara mereka ustadz mempunyai salah seorang sahabat baik yang lebih dulu masuk kepondok ini, namanya Wahyu. dia termasuk orang yang pandai diantara kami, selain pandai dia juga memiliki bakat dan keterampilan yang lain, membuat kali grafi, baik arab ataupun latin, hingga suatu hari dia dipanggil oleh pak kiyai dan diperintahkan untuk menulis sebuah tulisan besar yang akan menjadi peringatan bagi setiap orang yang datang kepondok, tulisan besar itu ada diatas kelas kalian, tulisan yang berwarna hijau tua sering dilihat oleh santri tapi tak pernah dibaca oleh hati mereka, siapa yang tahu apa tulisan itu?”
“KEPONDOK APA YANG KAU CARI?” jawab mereka serentak
“benar, tulisan itu dia tulis dengan penuh semangat dan sangat hati-hati, berhari-hari lamanya. kadang ustadz membantu mengangkat tangga, menggesernya kalau dia ingin berpindah ketempat yang lain, atau hanya sekedar membantu mencampur dan mengaduk-aduk cat yang akan dia pakai, setelah hampir satu bulan akhirnya tulisan itu selesai juga terpampang besar ditas kelas kalian. Waktupun berlalu kami kembali larut dengan aktivitas yang ada dipondok apalagi dikelas terakhir ini kami harus menaikan frekuensi belajar kami, semunya harus serba ekstra karena dipertangahan tahun nanti kami harus menghadapi ujian imamah, khotib jum’at, amaliatu tadris, hingga yang terakhir UAN. Sampai sutu hari kami mendengar kabar kalau dia harus pergi dari pondok ini, ternyata takdir berbicara lain salah satu diantara kami ada yang harus pergi lebih dulu, dan dugaan ustadzpun ternyata meleset jauh. ternyata orang yang sudah menulis tulisan itu tidak paham dan tidak mengerti dengan makna yang terkandung dalam tulisan itu, dia tidak berhsil menemukan apa yang dia cari dipondok ini. Kekeliruannya itu telah menyebabkan dia terjerumus kedalam lembah kebodohan, dan akibatnya dia harus pergi dari pondok ini, ada yang bisa memberikan kesimpulan dari cerita ini?”
Tapi sayang sebelum ada yang mengangkat tangan bel tanda habisnya pelajaran berbunyi terlebih dahulu. akhirnya kami sepakat untuk menyambung cerita ini nanti malam setelah sholat isya, sekalian menyelesaikan pelajaran bahasa arab yang hanya tinggal sedikit lagi.
Aku yakin anak-anakupun merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan, sebenarnya mereka tidak ingin aku pergi dari pondok, ini terlihat dari sikap mereka hari ini sikap yang biasanya selalu ceria dan bersemangat ketika aku mengajar mereka. Tapi, mudah-mudahan mereka mengerti kalau hubungan yang sudah terjalin diantara kami tidak akan terputus walaupun masaku menjadi wali kelas mereka sudh berakhir.
“Terus berjuang adik-adiku, dimanapun kalian belajar jangan pernah lupa kalau suatu hari nanti apa yang kalian pelajari akan dipertanyakan”.

2 komentar

rumah karya 20 Juli 2012 pukul 21.30

Sekarang mereka sudah besar. Dan sudah bisa memilih jalan hidup. Sedangkan engkau, jala apa yang kau tempuh? Penulis mungkin. Hanya kau yang tahu. ^_^

Unknown 21 Juli 2012 pukul 20.17

Iya, sekarang mereka sudah besar, sudah bisa memilih jalan hidup sendiri-sendiri. Mungkin diantara mereka juga sudah ada yang lupa tentang kisah ini. Sama" semangat menulis kawan!

Posting Komentar