We Are With You

We Are With You
The help of Allah is always near

RELEIVE GAZA'S ORPHANS

RELEIVE GAZA'S ORPHANS
Mari kita bantu saudara kita!

Karyaku

Karyaku
Ya Allah Semoga Bisa Diterbitkan

Followers

Kisah Dalam Gambar Slideshow: Rama’s trip from القاهرة, مصر to 3 cities جدة, مكة المكرمة and الزقازيق was created by TripAdvisor. See another مصر slideshow. Create your own stunning slideshow with our free photo slideshow maker.

Kamis, 11 November 2010

perbedaan pendapat ulama tentang musik



Kontroversi musik
 
Sudah sering kita mendengar perkataan yang saling bertentangan tentang music dan nyanyian. Ada sebagian dari mereka yang menghalalkan, dan ada juga dari mereka yang mengharamkannya. Yang masing-masing pendapat dibentengi oleh dalil dan hujjah dari alqur’an dan sunnah.
Singkatnya dari permasalahan ini pendapat ulama terbagi menjadi dua bagian yang mendasar.

1).      Pendapat pertama
Yaitu pendapat yang mengharamkan mendengarkan nyanyian atau music, mereka bertendensi pa dalil alqur’an surat luqman ayat 6.
“Dan   diantara  nnanusia  (ada)  orang  yang  mempergunakan perkataan yang tidak  berguna  untuk  menyesatkan  (manusia) dari  jalan  Allah  tanpa  pengetahuan  dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan."
Mereka mengatakan bahwa “lahwal hadits” dalam ayat tersebut bermakna Al-ginaa’.  Lalu mereka menyimpulkan bhwa perkataan ini disandrkan pada hadits nabi SAW. Yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah ra. sesungguhnya Allah menghramkan al-qoynah, menjualnya dan mempelajarinya (Al-qoynah dalam kamus al-ashry, artinya biduan atau penyanyi)
Selain surat Luqman ayat enam mereka juga betendensi pada surat an-najm ayat 59-61 yang berbunyi:
“maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?{59}. Dan kamu tertawakan dan tidak menangis {60}. Sedang kamu lengah darinya {61}.mereka meriwayatkan hadis dari Ibnu abbas bahwa kata (saamiduun) bermakna nyanyian dengan bahasa hamir.
Selain itu juga, mereka mengambil dalil dari ayat alqur’an surat Yunus ayat 32.
“...   maka  tidak  ada  sesudah  kebenaran  itu,  melainkan kesesatan ...”
Ini adalah dalil yang mereka petik dari Al-qu’an, selain itu mereka juga mengambil dalil dari Hadits nabi SAW. Di antaranya:
1.“Sesungguhnya setan adalah makhluk yang pertama kali menangis dan juga yang pertama kali bernyanyi”
2. tidak seorangpun yang mengangkat suranya dengan nyanyian, kecuali Allah akan mengirim untuknya dua syetan pada dua bahunya lalu ia bergerak pada dua tumitnya sampai pada dadanya hingga diapun dikuasainya.
3. hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir “setiap sesuatu yang membuat seseorang lalai adalah batil kecuali ia melatih kuda, melemparkan anak panah dari busurnya, dan bercnda dengan istrinya.
4. perkataan Utsman Ra, “ aku tidak menyanyi, tidak berandai-andai dan juga tidak memegang kemalunku dengan tangan kanan semenjak aku membaiat rosulallah SAW”
5. perkataan ibnu mas’ud yang mereka sandarkan pada rosulallah, “nyanyian menumbuhkan dalam hati manusia kemunafikan”
      Di antara ulama mutaqaddimin yang mengharamkan nyanyian dan musik adalah Abu Yusuf. Sedangkan di antara ulama zaman ini adalah Syekh Abdurrahman As Sa’di, Syekh Al Albani, Syekh bin Baz, Syekh al-Utsaimin, Syekh Al Fauzan, Syekh Muqbil bin Hadi.

2).      Pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang memperbolehkan musik dan nyanyian.
Pendapat ini sebenarnya lebih cenderung pada penolakan atau penyanggahan setiap dalil yang dikemukakan oleh para shohibu ro’yi yang pertama. kebanyakan dari mereka yang mendukung pendapat yang kedua ini memberikan syarat yang sangat selektif dalam memperbolehkan nyanyian atau music. Mereka berdalil bahwa:

1.      Sesungguhnya kaidah dalam islam adalah solusi, adapun pengharaman adalah pengecualian. Tidak ada didalam alqur’an nash yang shorih yang menharamkan music, tidak juga terdpat pada hadist-hadits nabi yang shosih.
2.       Kita perhatikan ayat pertama:

"Dan  diantara  manusia  (ada)  orang   yang   mempergunakan perkataan yang tidak berguna ..."

Ayat  ini  dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in untuk mengharamkan nyanyian.

Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana yang  dikemukakan  Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia berkata: "Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:

Pertama:  tidak  ada  hujah bagi seseorang selain Rasulullah saw. Kedua:  pendapat  ini  telah  ditentang  oleh  sebagian sahabat  dan tabi'in yang lain. Ketiga: nash ayat ini justru membatalkan   argumentasi    mereka,   karena    didalamnya menerangkan kualifikasi tertentu:

"'Dan   diantara  manusia  (ada)  orang  yang  mempergunakan perkataan yang tidak berguna  untulc  menyesatkan  (manusia) dari  jalan  Allah  tanpa  pengetahuan  dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan ..."

Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat  ini, maka  ia  dikualifikasikan  kafir  tanpa diperdebatkan lagi. Jika  ada  orang  yang  membeli  Al  Qur'an  (mushaf)  untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan olok-olokan, maka jelas-jelas dia  kafir.  Perilaku  seperti inilah  yang  dicela  oleh  Allah.  Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya - bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan  Allah.  Demikian  juga orang  yang  sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca Al Qur'an atau membaca  hadits,  atau  bercakap-cakap,  atau menyanyi  (mendengarkan  nyanyian), atau lainnya, maka orang tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain halnya   jika  semua  itu  tidak  menjadikannya  mengabaikan kewajiban kepada  Allah,  yang demikian  tidak  apa-apa  ia lakukan."
Saya mengutip perkatakan Dr. Yusuf qordhowi, bahwa tidak semua nyanyian itu  laghwu,  karena hukumnya  ditetapkan  berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu  yang  laghwu  (tidak bermanfaat)  sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan al mizah (gurauan) sebagai ketaatan.  Dan  niat  yang  buruk menggugurkan  amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin  merupakan  riya'.  Dari  Abu  Hurairah   r.a.   bahwaRasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya  Allah  tidak  melihat  rupa  kamu,  tetapi ia meIihat hatimu." (HR Muslim dan Ibnu Majah)

Beliau mengutip di  sini  perkataan  yang  disampaikan oleh Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang yang  melarang  nyanyian.   Ibnu   Hazm   berkata:   "Mereka berargumentasi   dengan   mengatakan:  apakah  nyanyian  itu termasuk kebenaran, padahal tidak ada  yang  ketiga?  Allah SWT berfirman:
"...   maka  tidak  ada  sesudah  kebenaran  itu,  melainkan kesesatan ..."
Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufiq, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya   amal   itu   tergantung   pada   niat,   dan sesungguhnya  tiap-tiap  orang  (mendapatkan)  apa  yang  ia niatkan."

Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya  untuk  berbuat  maksiat  kepada  Allah  Ta'ala berarti  ia  fasik,  demikian pula terhadap selain nyanyian. Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk  menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang  yang  taat  dan  baik,  dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk  taat  juga  tidak  untuk  maksiat,  maka mendengarkan nyanyian  itu  termasuk   laghwu   (perbuatan   yang   tidak berfaedah)  yang  dimaafkan.  Misalnya,  orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya  dengan membuka  kancing  baju,  mencelupkan  pakaian untuk mengubah warna,   meluruskan    kakinya    atau    melipatnya,    dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya.

Beliau juga (Dr. Yusuf qordhowi) mengatakan: adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya  memiliki  cacat,  tidak  ada satu  pun  yang  terlepas  dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau  kedua-duanya.  Al Qadhi  Abu  Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Hakam: "Tidak satu pun hadits sahih  yang  mengharamkannya." Demikian  juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu  Hazm  berkata:  "Semua  riwayat mengenai   masalah  (pengharaman  nyanyian)  itu  batil  dan palsu."

Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah  gugur,  maka tetaplah  nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash  sahih yang  menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari  dan  Muslim  bahwa  Abu  Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi saw., ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi,  lalu Abu  Bakar  menghardiknya seraya berkata: "Apakah pantas ada seruling setan di  rumah  Rasulullah?"  Kemudian  Rasulullah saw. menimpali:

"Biarkanlah  mereka,  wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya."

Disamping itu, juga tidak ada larangan  menyanyi  pada  hari selain  hari  raya.  Makna  hadits itu ialah bahwa hari raya termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan   nyanyian,  permainan,  dan  sebagainya  yang  tidak terlarang.
Ada yang harus diperhatikan disni, yaitu syarat yang harus di jaga:

1. Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam. Nyanyian yang berisi kalimat "dunia adalah rokok dan gelas arak" bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan dharar.
 
Begitupun nyanyian-nyanyian yang seronok serta memuji-muji kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian yang bertentangan dengan adab-adab Islam sebagaimana diserukan oleh Kitab Sucinya:
 "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya” (an-nur:30)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya (an-nur: 31)
Dan Rasulullah saw. bersabda:

 "Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah risiko bagimu." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
 
Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran dan adab Islam.
2. Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan. Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak "kotor," tetapi penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan yang tidak sopan.
 
Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi saw.:
"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya
3. Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka bagaimana menurut pikiran Anda mengenai sikap berlebih-lebihan dalam permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu, meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa': "Saya tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada hak yang terabaikan."

       Di antara ulama mutaqaddimin yang menghalalkan nyanyian adalah Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu’bah, Usamah bin Zaid, Imran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali, dan Ibnu Hazm. Sedangkan di antara ulama zaman ini adalah Syekh Muhamad al-Ghazali dan Syekh Yusuf al-Qardhawi.
Wallahu A'lam Bi Murodih

Daftar pustaka:
Ahkamul Islam, karya Al-mustasyaar Hassan Muhammad El-hafnaawy, Dar el-syuruk
Al-ghinaa' Mut'atun Ila El-Fanaa, (nyanyian, sebuah kenikmatan yang membawa pada kebinasaan). Karya Syaikh Mus'ad Anwar, Dar El-rahma
Fatawa Mu'ashiroh Duktur Yusuf Al-Qordhowi



Nb: Terima kasih kepada yang telah bertanya, semoga Allah selalu menjaga dan merahmatinya.



1 komentar

Unknown 28 September 2014 pukul 19.34

Assalamu'alaikum, maaf, yang punya blog saif ya? izin ambil artikelnya buat tugas ya? syukranO:)

Posting Komentar