Sudah sering kita mendengar perkataan yang saling bertentangan tentang music dan nyanyian. Ada sebagian dari mereka yang menghalalkan, dan ada juga dari mereka yang mengharamkannya. Yang masing-masing pendapat dibentengi oleh dalil dan hujjah dari alqur’an dan sunnah.
Singkatnya dari permasalahan ini pendapat ulama terbagi menjadi dua bagian yang mendasar.
1). Pendapat pertama
Yaitu pendapat yang mengharamkan mendengarkan nyanyian atau music, mereka bertendensi pa dalil alqur’an surat luqman ayat 6.
“Dan diantara nnanusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan."
Mereka mengatakan bahwa “lahwal hadits” dalam ayat tersebut bermakna Al-ginaa’. Lalu mereka menyimpulkan bhwa perkataan ini disandrkan pada hadits nabi SAW. Yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah ra. sesungguhnya Allah menghramkan al-qoynah, menjualnya dan mempelajarinya (Al-qoynah dalam kamus al-ashry, artinya biduan atau penyanyi)
Selain surat Luqman ayat enam mereka juga betendensi pada surat an-najm ayat 59-61 yang berbunyi:
“maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?{59}. Dan kamu tertawakan dan tidak menangis {60}. Sedang kamu lengah darinya {61}.mereka meriwayatkan hadis dari Ibnu abbas bahwa kata (saamiduun) bermakna nyanyian dengan bahasa hamir.
Selain itu juga, mereka mengambil dalil dari ayat alqur’an surat Yunus ayat 32.
“... maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan ...”
Ini adalah dalil yang mereka petik dari Al-qu’an, selain itu mereka juga mengambil dalil dari Hadits nabi SAW. Di antaranya:
1.“Sesungguhnya setan adalah makhluk yang pertama kali menangis dan juga yang pertama kali bernyanyi”
2. tidak seorangpun yang mengangkat suranya dengan nyanyian, kecuali Allah akan mengirim untuknya dua syetan pada dua bahunya lalu ia bergerak pada dua tumitnya sampai pada dadanya hingga diapun dikuasainya.
3. hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir “setiap sesuatu yang membuat seseorang lalai adalah batil kecuali ia melatih kuda, melemparkan anak panah dari busurnya, dan bercnda dengan istrinya.
4. perkataan Utsman Ra, “ aku tidak menyanyi, tidak berandai-andai dan juga tidak memegang kemalunku dengan tangan kanan semenjak aku membaiat rosulallah SAW”
5. perkataan ibnu mas’ud yang mereka sandarkan pada rosulallah, “nyanyian menumbuhkan dalam hati manusia kemunafikan”
Di antara ulama mutaqaddimin yang mengharamkan nyanyian dan musik adalah Abu Yusuf. Sedangkan di antara ulama zaman ini adalah Syekh Abdurrahman As Sa’di, Syekh Al Albani, Syekh bin Baz, Syekh al-Utsaimin, Syekh Al Fauzan, Syekh Muqbil bin Hadi.
2). Pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang memperbolehkan musik dan nyanyian.
Pendapat ini sebenarnya lebih cenderung pada penolakan atau penyanggahan setiap dalil yang dikemukakan oleh para shohibu ro’yi yang pertama. kebanyakan dari mereka yang mendukung pendapat yang kedua ini memberikan syarat yang sangat selektif dalam memperbolehkan nyanyian atau music. Mereka berdalil bahwa:
1. Sesungguhnya kaidah dalam islam adalah solusi, adapun pengharaman adalah pengecualian. Tidak ada didalam alqur’an nash yang shorih yang menharamkan music, tidak juga terdpat pada hadist-hadits nabi yang shosih.
2. Kita perhatikan ayat pertama:
"Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna ..."
Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in untuk mengharamkan nyanyian.
Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia berkata: "Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:
Pertama: tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah saw. Kedua: pendapat ini telah ditentang oleh sebagian sahabat dan tabi'in yang lain. Ketiga: nash ayat ini justru membatalkan argumentasi mereka, karena didalamnya menerangkan kualifikasi tertentu:
"'Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untulc menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan ..."
Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat ini, maka ia dikualifikasikan kafir tanpa diperdebatkan lagi. Jika ada orang yang membeli Al Qur'an (mushaf) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan olok-olokan, maka jelas-jelas dia kafir. Perilaku seperti inilah yang dicela oleh Allah. Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya - bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Demikian juga orang yang sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca Al Qur'an atau membaca hadits, atau bercakap-cakap, atau menyanyi (mendengarkan nyanyian), atau lainnya, maka orang tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain halnya jika semua itu tidak menjadikannya mengabaikan kewajiban kepada Allah, yang demikian tidak apa-apa ia lakukan."
Saya mengutip perkatakan Dr. Yusuf qordhowi, bahwa tidak semua nyanyian itu laghwu, karena hukumnya ditetapkan berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu yang laghwu (tidak bermanfaat) sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan al mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk menggugurkan amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin merupakan riya'. Dari Abu Hurairah r.a. bahwaRasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi ia meIihat hatimu." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Beliau mengutip di sini perkataan yang disampaikan oleh Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang yang melarang nyanyian. Ibnu Hazm berkata: "Mereka berargumentasi dengan mengatakan: apakah nyanyian itu termasuk kebenaran, padahal tidak ada yang ketiga? Allah SWT berfirman:
"... maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan ..."
Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufiq, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya tiap-tiap orang (mendapatkan) apa yang ia niatkan."
Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta'ala berarti ia fasik, demikian pula terhadap selain nyanyian. Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat dan baik, dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka mendengarkan nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang tidak berfaedah) yang dimaafkan. Misalnya, orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya dengan membuka kancing baju, mencelupkan pakaian untuk mengubah warna, meluruskan kakinya atau melipatnya, dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya.
Beliau juga (Dr. Yusuf qordhowi) mengatakan: adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya memiliki cacat, tidak ada satu pun yang terlepas dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau kedua-duanya. Al Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Hakam: "Tidak satu pun hadits sahih yang mengharamkannya." Demikian juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu Hazm berkata: "Semua riwayat mengenai masalah (pengharaman nyanyian) itu batil dan palsu."
Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah gugur, maka tetaplah nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash sahih yang menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi saw., ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata: "Apakah pantas ada seruling setan di rumah Rasulullah?" Kemudian Rasulullah saw. menimpali:
"Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya."
Disamping itu, juga tidak ada larangan menyanyi pada hari selain hari raya. Makna hadits itu ialah bahwa hari raya termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan nyanyian, permainan, dan sebagainya yang tidak terlarang.
Ada yang harus diperhatikan disni, yaitu syarat yang harus di jaga:
1. Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam. Nyanyian yang berisi kalimat "dunia adalah rokok dan gelas arak" bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan dharar.
Begitupun nyanyian-nyanyian yang seronok serta memuji-muji kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian yang bertentangan dengan adab-adab Islam sebagaimana diserukan oleh Kitab Sucinya:
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya” (an-nur:30)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya (an-nur: 31)
Dan Rasulullah saw. bersabda:
"Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah risiko bagimu." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran dan adab Islam.
2. Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan. Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak "kotor," tetapi penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan yang tidak sopan.
Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi saw.:
"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya
3. Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka bagaimana menurut pikiran Anda mengenai sikap berlebih-lebihan dalam permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu, meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa': "Saya tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada hak yang terabaikan."
Di antara ulama mutaqaddimin yang menghalalkan nyanyian adalah Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu’bah, Usamah bin Zaid, Imran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali, dan Ibnu Hazm. Sedangkan di antara ulama zaman ini adalah Syekh Muhamad al-Ghazali dan Syekh Yusuf al-Qardhawi.
Wallahu A'lam Bi Murodih
Daftar pustaka:
Ahkamul Islam, karya Al-mustasyaar Hassan Muhammad El-hafnaawy, Dar el-syuruk
Al-ghinaa' Mut'atun Ila El-Fanaa, (nyanyian, sebuah kenikmatan yang membawa pada kebinasaan). Karya Syaikh Mus'ad Anwar, Dar El-rahma
Fatawa Mu'ashiroh Duktur Yusuf Al-Qordhowi
Nb: Terima kasih kepada yang telah bertanya, semoga Allah selalu menjaga dan merahmatinya.
Singkatnya dari permasalahan ini pendapat ulama terbagi menjadi dua bagian yang mendasar.
1). Pendapat pertama
Yaitu pendapat yang mengharamkan mendengarkan nyanyian atau music, mereka bertendensi pa dalil alqur’an surat luqman ayat 6.
“Dan diantara nnanusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan."
Mereka mengatakan bahwa “lahwal hadits” dalam ayat tersebut bermakna Al-ginaa’. Lalu mereka menyimpulkan bhwa perkataan ini disandrkan pada hadits nabi SAW. Yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah ra. sesungguhnya Allah menghramkan al-qoynah, menjualnya dan mempelajarinya (Al-qoynah dalam kamus al-ashry, artinya biduan atau penyanyi)
Selain surat Luqman ayat enam mereka juga betendensi pada surat an-najm ayat 59-61 yang berbunyi:
“maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?{59}. Dan kamu tertawakan dan tidak menangis {60}. Sedang kamu lengah darinya {61}.mereka meriwayatkan hadis dari Ibnu abbas bahwa kata (saamiduun) bermakna nyanyian dengan bahasa hamir.
Selain itu juga, mereka mengambil dalil dari ayat alqur’an surat Yunus ayat 32.
“... maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan ...”
Ini adalah dalil yang mereka petik dari Al-qu’an, selain itu mereka juga mengambil dalil dari Hadits nabi SAW. Di antaranya:
1.“Sesungguhnya setan adalah makhluk yang pertama kali menangis dan juga yang pertama kali bernyanyi”
2. tidak seorangpun yang mengangkat suranya dengan nyanyian, kecuali Allah akan mengirim untuknya dua syetan pada dua bahunya lalu ia bergerak pada dua tumitnya sampai pada dadanya hingga diapun dikuasainya.
3. hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir “setiap sesuatu yang membuat seseorang lalai adalah batil kecuali ia melatih kuda, melemparkan anak panah dari busurnya, dan bercnda dengan istrinya.
4. perkataan Utsman Ra, “ aku tidak menyanyi, tidak berandai-andai dan juga tidak memegang kemalunku dengan tangan kanan semenjak aku membaiat rosulallah SAW”
5. perkataan ibnu mas’ud yang mereka sandarkan pada rosulallah, “nyanyian menumbuhkan dalam hati manusia kemunafikan”
Di antara ulama mutaqaddimin yang mengharamkan nyanyian dan musik adalah Abu Yusuf. Sedangkan di antara ulama zaman ini adalah Syekh Abdurrahman As Sa’di, Syekh Al Albani, Syekh bin Baz, Syekh al-Utsaimin, Syekh Al Fauzan, Syekh Muqbil bin Hadi.
2). Pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang memperbolehkan musik dan nyanyian.
Pendapat ini sebenarnya lebih cenderung pada penolakan atau penyanggahan setiap dalil yang dikemukakan oleh para shohibu ro’yi yang pertama. kebanyakan dari mereka yang mendukung pendapat yang kedua ini memberikan syarat yang sangat selektif dalam memperbolehkan nyanyian atau music. Mereka berdalil bahwa:
1. Sesungguhnya kaidah dalam islam adalah solusi, adapun pengharaman adalah pengecualian. Tidak ada didalam alqur’an nash yang shorih yang menharamkan music, tidak juga terdpat pada hadist-hadits nabi yang shosih.
2. Kita perhatikan ayat pertama:
"Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna ..."
Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in untuk mengharamkan nyanyian.
Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia berkata: "Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:
Pertama: tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah saw. Kedua: pendapat ini telah ditentang oleh sebagian sahabat dan tabi'in yang lain. Ketiga: nash ayat ini justru membatalkan argumentasi mereka, karena didalamnya menerangkan kualifikasi tertentu:
"'Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untulc menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan ..."
Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat ini, maka ia dikualifikasikan kafir tanpa diperdebatkan lagi. Jika ada orang yang membeli Al Qur'an (mushaf) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan olok-olokan, maka jelas-jelas dia kafir. Perilaku seperti inilah yang dicela oleh Allah. Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya - bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Demikian juga orang yang sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca Al Qur'an atau membaca hadits, atau bercakap-cakap, atau menyanyi (mendengarkan nyanyian), atau lainnya, maka orang tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain halnya jika semua itu tidak menjadikannya mengabaikan kewajiban kepada Allah, yang demikian tidak apa-apa ia lakukan."
Saya mengutip perkatakan Dr. Yusuf qordhowi, bahwa tidak semua nyanyian itu laghwu, karena hukumnya ditetapkan berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu yang laghwu (tidak bermanfaat) sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan al mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk menggugurkan amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin merupakan riya'. Dari Abu Hurairah r.a. bahwaRasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi ia meIihat hatimu." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Beliau mengutip di sini perkataan yang disampaikan oleh Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang yang melarang nyanyian. Ibnu Hazm berkata: "Mereka berargumentasi dengan mengatakan: apakah nyanyian itu termasuk kebenaran, padahal tidak ada yang ketiga? Allah SWT berfirman:
"... maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan ..."
Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufiq, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya tiap-tiap orang (mendapatkan) apa yang ia niatkan."
Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta'ala berarti ia fasik, demikian pula terhadap selain nyanyian. Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat dan baik, dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka mendengarkan nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang tidak berfaedah) yang dimaafkan. Misalnya, orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya dengan membuka kancing baju, mencelupkan pakaian untuk mengubah warna, meluruskan kakinya atau melipatnya, dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya.
Beliau juga (Dr. Yusuf qordhowi) mengatakan: adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya memiliki cacat, tidak ada satu pun yang terlepas dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau kedua-duanya. Al Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Hakam: "Tidak satu pun hadits sahih yang mengharamkannya." Demikian juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu Hazm berkata: "Semua riwayat mengenai masalah (pengharaman nyanyian) itu batil dan palsu."
Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah gugur, maka tetaplah nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash sahih yang menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi saw., ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata: "Apakah pantas ada seruling setan di rumah Rasulullah?" Kemudian Rasulullah saw. menimpali:
"Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya."
Disamping itu, juga tidak ada larangan menyanyi pada hari selain hari raya. Makna hadits itu ialah bahwa hari raya termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan nyanyian, permainan, dan sebagainya yang tidak terlarang.
Ada yang harus diperhatikan disni, yaitu syarat yang harus di jaga:
1. Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam. Nyanyian yang berisi kalimat "dunia adalah rokok dan gelas arak" bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan dharar.
Begitupun nyanyian-nyanyian yang seronok serta memuji-muji kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian yang bertentangan dengan adab-adab Islam sebagaimana diserukan oleh Kitab Sucinya:
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya” (an-nur:30)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya (an-nur: 31)
Dan Rasulullah saw. bersabda:
"Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah risiko bagimu." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran dan adab Islam.
2. Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan. Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak "kotor," tetapi penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan yang tidak sopan.
Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi saw.:
"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya
3. Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka bagaimana menurut pikiran Anda mengenai sikap berlebih-lebihan dalam permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu, meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa': "Saya tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada hak yang terabaikan."
Di antara ulama mutaqaddimin yang menghalalkan nyanyian adalah Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu’bah, Usamah bin Zaid, Imran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali, dan Ibnu Hazm. Sedangkan di antara ulama zaman ini adalah Syekh Muhamad al-Ghazali dan Syekh Yusuf al-Qardhawi.
Wallahu A'lam Bi Murodih
Daftar pustaka:
Ahkamul Islam, karya Al-mustasyaar Hassan Muhammad El-hafnaawy, Dar el-syuruk
Al-ghinaa' Mut'atun Ila El-Fanaa, (nyanyian, sebuah kenikmatan yang membawa pada kebinasaan). Karya Syaikh Mus'ad Anwar, Dar El-rahma
Fatawa Mu'ashiroh Duktur Yusuf Al-Qordhowi
Nb: Terima kasih kepada yang telah bertanya, semoga Allah selalu menjaga dan merahmatinya.
1 komentar
Assalamu'alaikum, maaf, yang punya blog saif ya? izin ambil artikelnya buat tugas ya? syukranO:)
Posting Komentar