We Are With You

We Are With You
The help of Allah is always near

RELEIVE GAZA'S ORPHANS

RELEIVE GAZA'S ORPHANS
Mari kita bantu saudara kita!

Karyaku

Karyaku
Ya Allah Semoga Bisa Diterbitkan

Followers

Kisah Dalam Gambar Slideshow: Rama’s trip from القاهرة, مصر to 3 cities جدة, مكة المكرمة and الزقازيق was created by TripAdvisor. See another مصر slideshow. Create your own stunning slideshow with our free photo slideshow maker.

Rabu, 22 Juni 2011

Lukisan Rindu Ditengah Revolusi Mesir

Zagazig 15/02/011


Malam yang sepi terpisah dengan ramainya kehidupan, terpisah dengan terangnya cahaya terpisah dengan gelak tawa anak manusia, disudut sebuah kamar terpaku sosok seorang pemuda yang tak bisa memejamkan mata untuk beristirahat setelah seharian melakukan aktifitas yang begitu menumpuk, membantu evakuasi mahasiswa yang bermukim di Zagazig, entah kenapa ia tidak bisa memejamkan matanya, dari wajahnya tersirat sebuah beban berat yang tak bisa dipikulnya seorang diri, namun ia sendiripun ragu untuk berbicara mengeluarkan segala keluh kesahnya, tidak akan ada yang bisa memahami kesepiannya. Karena ia seorang diri dirumah itu, semua temannya telah meninggalkannya yang tersisa hanya siluet bayangan kerinduan yang tergambar dari setiap pojok ruangan itu.

Akhirnya iapun memilih untuk keluar rumah dari pada kenangan-kenangan itu terus melilitnya dengan beban-beban rindu yang tak bisa ia tepis, awalnya ia ragu untuk melangkah keluar karena waktu masih menunjukan pukul 02:15 dini hari, tapi ramainya kilauan bintang-bintang, dan cahaya rembulan yang menerangi wajahnya menggugurkan niatnya untuk kembali lagi kedalam flatnya, benda-benda hiasan malam itu seolah mengajaknya untuk keluar dari kekalutan hatinya dan menyuruhnya untuk tersenyum, perlahan ia membuka pintu gerbang yang baru ia ganti kunci gemboknya dengan yang lebih besar. Kini ia sudah berada diluar rumah, cahaya rembulan benar-benar telah membuatnya tersenyum, walau keadaan begitu dingin dan sepi. Namun sentuhan sinar putih itu telah menghangatkan hatinya.

Ia melangkahkan kakinya menuju perapian yang sudah ditinggalkan para pemiliknya, mungkin perapian ini ditinggalkan karena pemiliknya sedang berkeliling menjaga keamanan distrik mereka. Namun tidak lama ia pun merasa bosan dengan kesendirian, karena ketika dalam kesendirian bayangan orang yang baru dikenalnya terus mengganggu pikirannya. Membuat hatinya semakin kalut dan resah. "Ternyata hidup dalam kesepian itu sungguh menyakitkan" keluhnya dalam hati. Ia membayangkan bagai mana dulu Adam sebagai manusia pertama diciptakan hanya seorang diri, walaupun Adam hidup dialam yang maha indah segala sesuatu yang ia kehendaki akan muncul walaupun itu baru terbesit dalam benaknya. Lalu tidak lama setelah Allah melihat keadaan Adam yang berubah murung terikat resah. Diapun menciptakan Hawa dari tulang rusuknya untuk bisa menghilangkan kesunyian yang melilitnya.
"apakah dulu sebelum Hawa diciptakan perasaan Adam seperti ini juga?" pemuda itu tersenyum sendiri dengan penuturannya, lalu perlahan senyum itu merekah menjadi sebuah tawa yang tak bisa ia tahan. "mana mungkjn Adam seperti ini, dulu ia hidup disurga sedangkan aku sekarang hidup didunia yang hanya ditemani oleh bonggol-bonggol bekas jagung bakar, hahaha lcunya diriku ini" sahut pemuda itu sambil menahan tawanya, lalu ia berhenti sejenak namun tidak lama setelah itu iapun tertawa kembali tawanya kali ini semakin kencang, mungkin kalau ada orang yang melihatnya orang itu akan mengira bahwa pemuda itu sudah gila.

Pemuda itu lupa bahwa Adampun bukan hanya seorang nabi, dia juga seorang manusia, yang pasti  merasakan rindu,resah,kalut dan merasakan betapa sakitnya dirantai sepi. Merasa jenuh karena hanya tertawa seorang diri pemuda itupun melangkahkan kakinya menyusuri jalan yang dipenuhi oleh puing-puing bekas bangunan, ia masih malu untuk berterus terang kepada bintang, kepada bulan, bahkan ia malu untuk berterus terang kepada dirinya snediri. Tentang keadaan yang sebenarnya yang membuat perasaannya kacau balau. Pemuda itu idak tahu bagai mana harus mengeluarkan beban hati yang membuat jiwanya pengap dan dunia terasa semakin sempit.
 "Kalau disini ada umi mungkin aku bisa menumpahkan segala keresahanku, apakah aku harus pulang juga mengikuti teman-teman yang lain" lirih pemuda itu dalam hati.

Langkah pemuda itu terhenti ketika dari kejauhan ia mendengar riuh kerumunan orang yang sedang bercakap-cakap, keadaan di Zagazig sungguh sangat berbeda jauh dengan sebelumnya. Mungkin ini sudah menjadi bagian dari sekenario revolusi mesir yang meletus pada tanggal 25 januari, semua orang merasa ketakutan, dengan keadaan Negara yang masih belum jelas ujungnya, bahkan ada yang memprediksikan kalau Husni Mubarak tidak bersedia untuk turun dari kursi kepresidenan maka keadaan Mesir akan semakin kacau. Bagi pemuda itu sekarang Zagazig sudah seperti kota yanag tidak berpenghuni,teman-temannya sudah meninggalkannya seorang diri karena sudah merasa tidak aman, sekarangpun ia hanya seorang diri dirumahnya dan memaksakan dirinya untuk keluar rumah agar ia bisa terbebas dari penjara sepi yang mengurungnya. Namun apa yang ia dapatkan diluar sana, hanya kehampaan karena bulan dan bintangpun tidak bisa diajak untuk bercanda, angin malampun hanya menyapanya sebentar lalu pergi menyisakan udara dingin yang membuat pemuda itu semakin menggigil.

Merasa bosan berjalan tanpa arah pemuda itupun kembali ketempat perapian semula, ternyata tempat itu masih kosong belum ada orang yang kembali dari rondanya, iapun memilih untuk duduk kembali seorang diri sambil menghangatkan tangannya ke tungku api yang hampir padam. Ketika hendak berdiri ia merasakan ada sesuatu yang terjatuh dari saku jaketnya, ternyata sebuah pulpen yang ia gunakan ketika kemarin lusa masih rapat evakuasi, ia meraba jaketnya lalu diambilnya sebuah kertas yang berisikan tentang daftar nama-nama keluarga yang harus segera dievakuasi ke Kairo. Pemuda itu tersenyum sambil membaca nama demi nama yang tertulis dikertas itu, lalu matanya tertuju pada sebuah nama yang membuat hatinya semakin tak bisa ia kendalikan dan tak bisa ia pahami, bukan dari deretan nama-nama mahasiswa yang sudah berkeluarga tapi nama lain yang tertulis paling akhir dari kertas itu yang membuat pemuda itu harus keluar rumah untuk mencari jawaban apa yang sebenarnya sedang menimpa dirinya malam itu. Namun sayang jawaban itu tidak ia temukan malah sebaliknya pemuda itu seperti merasa mencari sesuatu yang hilang yang tak akan pernah ia temukan sampai kapanpun.

Semakin merasa bosan pemuda itupun menuliskan sesuatu diatas kertas yang sudah kusut itu, berharap dengan menuliskan keadaan hatinya ia bisa segera kembali normal seperti sedia kala. Matanya kini tertuju pada lembar kertas putih dan mulai terbawa arus aliran imajinasi hatinya yang semakin deras, sesekali ia melihat kearah bulan dan bintang sedikit tersenyum lalu ia hanyut kembali kedalam tulisannya,

Bosan, sendiri dan sepi.
Bertanya, entah siapa yang sedang kucari.
Ada yang hilang dalam setiap sudut hidup ini
Ramai menjadi sunyi senyap dan mati
Bising dan gaduh memudar terserap ilusi
Dan ketika kuterjaga aku sadar aku sendiri

Langkahku cemas tak ada arti
Mencaripun jengah karena tak bisa dimiliki
Menyesal harus bertemu lalu akhirnya menjadi benci
Sepi kini menjadi teman sejati
Walau kadang berubah menjadi musuh yang penuh ambisi

Sepi adalah penjara yang lebih kuat dari trali besi
Ribuan kali aku coba untuk menghindari
Namun tetap aku tak bisa terlepas dari sepi
Entahlah apakah ini gejala alam yang harus kujalani
Hingga duniaku kini berteman sepi

Pemuda itu tidak sadar bahwa seorang bapak tua dengan mengenakan jalabiyah tebal berwarna abu-abu dan sorban yang melilit dikepalanya terus menatap kearahnya, wajah bapak tua itu terlihat semakin sangar dengan kumis tebal berwarna hitam putih karena sudah dimakan usia. Ditambah lagi dengan senapan laras panjang yang menggantung dibelakang punggungnya membuat orang yang melihatnya pasti merasa ketakutan.

"Hai anak muda, apa yang sedang kamu lakukan diluar rumah tengah malam begini, apakah kamu tidak tahu bahwa negri kami sekarang sedang tidak aman?" gertak bapa tua itu,

Wajah pemuda itu seketika berubah, ketegangan dan ketakutan itu terlihat jelas diwajahnya yang semakin pucat. Tanpa ia sadari kertas dan pena yang telah membawanya hanyut pada dunia sendunya itu perlahan jatuh disamping kakinya. Bapak tua itu sedikit tersenyum ketika melihat pemuda itu menahan getaran kakinya ketika ia hendak berdiri.

"maaf paman, sa, saya tidak bermaksud untuk berbuat buruk dengan duduk seorang diri ditempat ini. Saya.. saya hanya tidak bisa tidur" jawab pemuda itu sedikit tersendat-sendat.

"apa yang sedang kau tulis diselembar kertas itu anak muda, apakah kau sedang menulis tentang kekacauan negri kami?" balas bapak tua itu, pemuda itupun langsung tersadar, dan menoleh kearah kertas dan pena yang tak sengaja ia jatuhkan tadi. 

"tidak paman, saya hanya sedang menulis tentang kegelisahan hati saya" jawab pemuda itu masih sedikit bergetar.

"hahaha, apakah kau merasa kesepian, karena kau sekarang hanya seorang diri ditempat ini? kemarin lusa saya melihat teman-temanmu berbondong-bondong pergi meninggalkan kami dengan menggunakan bus-bus yang besar. Tidak hanya kau yang merasa kesepian anak muda. Kamipun merasa kehilangan dan ditinggalkan disni, seharusnya ketika kami dilanda musibah seperti ini kalian tidak meninggalkan kami seorang diri, seharusnya kalian membantu kami untuk meringankan beban ini, setidaknya dengan adanya kalian disini kami bisa bercermin dari perjuangan kalian, ketika kalian melakukan revolusi dan meruntuhkan pemerintahan kalian yang dzolim pada tahun 1998 lalu." bapak tua itu lalu menghentikan kata-katanya dan mengeluarkan dua jagung bakar yang sudah dingin dari kantong kain yang sudah kusut berwarna coklat. Pemuda itu pun ikut terdiam memikirkan kata-kata yang barusan diucapkan oleh bapak tua itu, "merasa kehilangan dan ditinggalkan" ulang pemuda itu dalam hati. Pemuda itu sedikit terharu dengan ucapan bapak tua itu, kalau ia pikirkan sekali lagi memang ada benarnya perkataan bapak tua itu, mungkin memang seharusnya orang-orang asing seperti dirinya tidak pergi meniggalkan warga Mesir ketika mereka dilanda musibah seperti ini.

"hai anak muda! Apa yang sedang kau pikirkan. Tidak usah kau pikirkan teman-temanmu yang sudah meninggalkanmu. Cepat bantu saya untuk membuat perapian lagi" lanjut bapak tua itu. Masih dengan pikiran yang mengganjal dan berkecamuk pemuda itupun ikut mengumpulkan kayu-kayu yang berserakan disekitarnya. Tidak lama akhirnya kumpulan kayu itu berubah menjadi sebuah api kecil yang menari-nari mengeluarkan bunga api yang perlahan terbang kelangit malam.

"maaf paman, saya bukan membela diri atau membela teman-teman saya yang sudah pergi menginggalkan Mesir. Tapi ketika revolusi pecah pada tanggal 25 januari, seluruh media yang berada dinegeri kami semuanya tertuju pada negeri paman. Tidak terlepas juga kepada kami yang sedang berada didalamnya yang menyaksikan gemuruh gelombang revolusi yang tak pernah padam, selalu terpancar kuat dari dada-dada rakyat Mesir. banyak Media yang mengekspos keadaan disini, sehingga getaran gemuruh gelombang itu sangat terasa dinegeri kami, membuat ayah, ibu dan keluarga kami menjadi khawatir dan ketakutan" pemuda itu mencoba memberi pengertian kepada bapak tua yang sedang menghangatkan dua jagung bakar yg sudah mendingin.

"sudahlah, kau tidak usah membicarakan lagi tentang revolusi, dengan adanya revolusi berarti negeri kami harus berbenah lagi, sedangkan untuk berbenah membutuhkan waktu yang lama dan bertahun-tahun. Kau tahu anak muda, dalam waktu menunggu itu segala sesuatunya bisa terjadi, kejahatan yang semakin meningkat, harga pokok yang semakin melambung, semuanya membingungankan rakyat kecil yang buta huruf yang tidak mengerti dengan revolusi" bapak tua itu menjawab dengan suara sedikit meninggi, membuat pemuda itu merubah arah duduknya.

Sejenak keheningan menyambar mereka berdua, pemuda itu mengerti bahwa tidak semua orang Mesir menginginkan revolusi. Namun untuk bertanya lebih jauh lagi pemuda itu merasa ragu karena sekarang ini rakyat Mesir sedang dihinggapi sensitivitas yang tinggi salah bicara bisa-bisa dia sendiri yang kena bentak. Dirasuki rasa ketidak jelasan itu akhirnya pemuda itu memilih untuk pulang kerumahnya, walaupun ia sangat yakin sesampainya dirumah nanti kesepian akan menggerigotinya lagi, apa lagi bayangan wajah seseorang yang baru dikenalnya itu selalu menari-nari dibenaknya. Entahlah, pemuda itu belum bisa menyimpulkan tentang keadaan yang melanda dirinya. Hampir lima tahun dunianya terpisah dari sosok bidadari yang selalu ingin ia temui dalam setiap mimpi malamnya. Dan sekarang disimpang hidupnya ia bertemu dengan seorang hawa.   

"maaf paman saya mohon diri dulu mata saya sudah mulai mengantuk" seloroh pemuda itu. Mendengar ucapan pemuda yang belum dikenalnya, bapak tua itu menatap sinis kearah pemuda yang terlihat kesepian itu, dalam hatinya ia sangat mengerti bahwa pemuda itu sedang mencari seorang teman untuk membantu menghilangkan kesepiannya.

"hahaha, kau tidak usah tersinggung dengan ucapan ku tadi anak muda, apa kau tidak melihat aku sedang memanaskan dua jagung bakar? Kau kira aku akan memakan semuanya? Aku yakin dari sore tadi kau belum memasukan apa-apa kedalam perutmu, ini ambil satu untukmu" balas bapak tua itu sambil memberikan satu jagung bakar yang masih menyembulkan asap panasnya dan mengeluarkan aroma yang mengundang selera. Pemuda itupun tidak jadi bangkit dari tempat duduknya, setelah mengucapkan terimakasih ia pun tanpa sungkan lagi mengambil jagung bakar itu dan memakannya sedikit demi sedikit tanpa menghiraukan sembulan asap panas dari jagung bakar itu.
"ngomong-ngomong, siapa namamu anak muda. Apakah kau orang Malaysia atau Indonesia?" sambung bapa tua itu tanpa menoleh kearah lawan bicaranya. Mendengar ucapan bapak tua itu, wajah pemuda itu sedikit berubah ada senyum cerah yang tergambar diwajahnya, pemuda itu merasa terselematkan, karena kalau ia harus pulang secepat itu kerumahnya berarti penjara sepi itu akan membelengunya kembali.

"nama saya Husam paman, saya dari Indonesia. Paman sendiri, siapakah nama paman?" jawab pemuda yang bernama Husam itu sambil balik bertanya

Husam tidak melihat kearah bapak tua itu yang kini sedang melihat tajam ke wajahnya, ada sesuatu yang menarik perhatian bapak tua itu ketika Husam mengatakan dia berasal dari Indonesia. Pemuda itu baru sadar ketika matanya tak sengaja bertabrakan dengan bapak tua itu, perlahan iapun menghentikan mengunyah jagung bakar yang sedari tadi ia nikmati karena dorongan rasa lapar yang menggerogotinya.

"maaf paman, apakah ada yang salah dengan ucapanku" seloroh pemuda yang bernama Husam itu.
"haha tidak anak muda, aku hanya merasa risih melihatmu makan seperti orang kelaparan" bapak tua itu memalingkan wajahnya, dan beralih kepada senapan laras panjangnya yang dari tadi tidak ia hiraukan, ada rasa yang membuat jiwanya sedikit sakit dan tertekan tapi ia sendiri tidak mau membuka hatinya utnuk mengeluarkan semua rasa sakitnya.

"oiya, nama saya Ahmad Muhammad Kurdi, semua orang didistrik ini memanggil saya Kurdi, jadi kaupun boleh memanggilku dengan nama ini" sambung bapak tua yang memiliki nama Kurdi itu

"ternyata paman memiliki nama yang mirip dengan nama-nama orang Indonesia, sayapun jadi sangat mudah untuk mengingatnya" balas Husam dengan senyum yang menghias wajahnya

"selain namaku yang mirip dengan orang Indonesia apakah kau tahu juga nama-nama orang Mesir yang lain yang mirip nama orang-orangmu?" bapak tua itu semakin antusias berbicara dengan orang yang baru dikenalnya itu

"ada paman. Dia orang Manufiyyah satu kelas denganku dikuliyyah lughoh al-arobiyyah, namanya Muhammad Dashuki" timpal pemuda yang bernama Husam dengan senyum yang masih berlepotan dimulutnya

"hahaha, ternyata kau pandai bergaul juga anak muda, aku sangat senang bisa berkawan dengan orang sepertimu, tidak menutup diri dan berani membawa budayamu ditengah kerumunan orang asing, lihat ditempat seperti inipun kau masih memakai kain yang sering kau gunakan untuk sholat di masjid".
Bapak tua itu berkelekar sambil menarik-narik kain sarung yang digunakan oleh Husam. Ternyata rasa sepi telah membuat Husam tenggelam dalam gelisah yang tak bertepi sampai ia lupa setelah sholat tahajjud tadi ia tidak sempat mengganti kain sarungnya, tapi ia memilih langsung keluar menyambut seruan bulan dan bintang-bintang yang memanggilnya. Husam tersipu malu karena sebenarnya ia tidak terbiasa memakai kain sarung jika berada diluar rumah.

"haha, maaf paman saya tidak bermaksud untuk memamerkan budaya saya, tapi saya benar-benar lupa mengganti kain sarung saya setelah selesai sholat tahajjud tadi" Husam berusaha menyanggah dengan wajah yang sedikit memerah.
"sudahlah kau tidak perlu menyanggah seperti itu anak muda, aku sering melihat teman-temanmu juga selalu memakai kain seperti itu" bantah bapak tua itu
"aku jadi bertambah bangga bisa berkawan dengan pemuda sepertimu, walaupun kau ditinggal pergi sendiri oleh teman-temanmu tapi kau masih mau mendoakan mereka disholat tahajjudmu, dan mendoakan negriku yang sedang dilanda kekacauan ini semoga Allah memberi keberuntungan kepadamu anak muda" sambung bapak tua itu sambil mengelus-elus pucuk senapan laras panjangnya

"kenapa paman bisa menyangka seperti itu? Padahal belum tentu saya mendoakan teman-teman saya dan negeri paman yang sedang dilanda revolusi ini" sanggah Husam yang merasakan ada sesuatu yang berbeda dari bapak tua itu. Ia semakin penasaran siapa sebenarnya sosok bapak tua itu, karena apa yang dikatakan bapak tua itu memang benar adanya. Ia baru saja menyebut nama temannya satu persatu didalam doa malamnya tadi, bahkan iapun tidak lupa untuk mendoakan negeri Mesir yang tengah dilanda kekacauan karena rakyatnya melakukan pemberontakan terhadap pemerintahnya yang korup, otoriter, dan dictator.

"haha, anak muda kau tidak perlu menunjukan wajah heranmu, kau baru anak kemarin sore sedangkan aku seorang kakek tua yang hampir genap usianya enam puluh tahun, hampir seluruh negri arab sudah aku singgahi. Bahkan sebagian kecil Negara asia tenggara pernah aku jelajahi termasuk negerimu anak muda, aku bisa membaca raut wajahmu, keadaan hatimu yang gerhana karena terselimuti hitamnya resah dan gelisah. Kau sedang berusaha sekuat tenagamu untuk menghindar dari perasaan yang membelenggu kebebasanmu. Karena kemanapun kau melangkah bayangan samar itu pasti akan mengikutimu. Dan yang lebih menyakitkan adalah, kau mendustai dirimu sendiri, kau mendustai nikmat tuhanmu anak muda"

"tapi paman apakah…" pemuda yang bernama Husam itu berusaha untuk memotong

"apakah apa? Apakah jatuh cinta itu bukan nikmat dari tuhanmu?" perkataan bapak tua itu semakin membuat Husam tertunduk, ia tak berani mengangkat wajahnya menatap kearah langit malam yang sebentar lagi akan bertemu dengan fajar. Walaupun ia mampu menatapnya pasti bulan dan bintang-bintang akan memalingkan wajahnya karena tak berani menatap kearah Husam yang sedang dilanda dilemma perasaannya sendiri.

"sudahlah anak muda, kau tidak usah murung seperti itu. Aku tadi hanya sedikit membeberkan pengalamanku padamu, akupun sama sepertimu pernah muda dan pernah merasakan jatuh cinta, tersenyumlah karena itu akan membuatmu lebih baik dan lebih bisa menata hatimu. Lalu berkaryalah dengan rasa cintamu. Tuliskan semua apa yang kau rasakan karena diakhir cerita nanti kau akan tetap merasa bahagia, walaupun apa yang kau rasakan belum pasti bisa kau wujudkan" bapak tua yang bernama Kurdi itu seolah sedang memberikan pesan terakhir kepada anak laki-lakinya. Apa yang dirasakan oleh Husam pun demikian, ia seperti sedang mendengar pesan dari sosok seorang ayah yang sudah lama sekali ia rindukan. Dari kejauhan suara adzan subuh mulai terdengar mendayu-dayu. Mereka berduapun akhirnya melangkahkan kaki menuju masjid as-salam yang berada diujung distrik Mansyiatu Salam.

Dalam perjalanan menuju masjid, Husam sempat meminta untuk bisa bertemu kembali dengan sosok bapak tua yang bernama Kurdi itu. Karena dalam hatinya masih banyak pertanyaan yang tak mungkin terjawab tanpa ada bapak tua itu, karena semua pertanyaan yang ingin ia tanyakan berhubungan dengan bapak tua itu. Amu Kurdi hanya membalas dengan anggukan dan senyum yang mengembang diwajahnya.         

0 komentar

Posting Komentar