Suatu ketika Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wasallam, menerima wahyu
dari Allah untuk memindahkan arah kiblat dari arah Baitul Maqdis di
Palestina kearah Masjidil Haram di Makkah. Peristiwa ini terjadi pada
tahun 2 Hijriah pertengahan bulan Rajab. Sontak saja peristiwa ini
menimbulkan keraguan dan perdebatan di kalangan orang-orang musyrik
arab, orang-orang Yahudi dan orang-orang munafiq yang berada di Madinah.
Begitulah keadaan para sufahaa’ (orang-orang yang kurang akal), jiwa dan hati mereka penuh dengan dengki ketika kebaikan datang pada umat Islam.
Ats-Tsa’labi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas: Bahwa kaum Yahudi
Madinah dan kaum Nashara Najran mengharap agar Nabi SAW shalat menghadap
kiblat mereka. Ketika Allah SWT membelokkan kiblat itu ke ka’bah,
mereka merasa berkeberatan. Mereka berkomplot dan berusaha agar Nabi
SAW, menyetujui kiblat sesuai dengan agama mereka. Dari kejadian
tersebut maka turunlah ayat ke 120 surat Al-Baqarah yang menegaskan
bahwa orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashara tidak akan senang
kepada Nabi Muhammad walaupun keinginannya dikabulkan. Kita semua sudah
tahu bagai mana isi ayat itu.
Peristiwa diatas hanya contoh kecil dari begitu banyaknya kedengkian
orang musysrik Quraisy, Yahudi dan Nashara kepada umat Islam. Masih
begitu jelas dalam Jurisprudence prophetic biography,
ketika Nabi SAW dihadapkan pada peristiwa perjanjian hudaibiyah yang
belum pernah disangka oleh beliau sebelumnya, karena isi perjanjian itu
jika dilihat secara kasat mata sangat merugikan kaum Muslimin. Hingga
saat itu Ali Bin Abi Thalib yang menemani Nabi sebagai juru tulis beliau
sangat geram dengan permintaan kaum Quraisy yang diwakili oleh Suhail
Bin ‘Amru. Bagai mana tidak? Orang-orang Quraisy pada perjanjjian itu
menolak permintaan Nabi untuk menuliskan namannya dengan nama
Rasulallah. Tapi mereka meminta Nabi untuk menuliskan namanya dinasabkan
kepada ayahnya, tidak dengan status beliau sebagai Rasulallah. Namun
Nabi tetap mengiyakan.
Orang-orang kafir Quraisy juga menolak kalimat “Basmalah”
sebagai sebuah etika Nabi ketika beliau mengirimkan surat kesetiap
daerah yang ingin beliau Islamkan, Nabipun masih mengalah. Dalam
perjanjian itu juga disepakati untuk melakukan gencatan senjata, tidak
boleh saling menyerang selama sepuluh tahun, Nabipun menyepakati poin
itu. Kafir Quraisy juga menolak kedatangan Rasulallah ke Makkah dan
meminta pihak Rasulallah untuk kembali ke Madinah, padahal niat Nabi dan
para sahabatnya datang ke Makkah tiada lain hanya untuk melaksanakan
umrah tetapi orang-orang kafir Quraisy tetap menyuruhnya untuk kembali
ke Madinah dan Nabi diperbolehkan melakukan umrah pada tahun depannya.
Pada poin ini pun Nabi tetap mengalah.
Lalu pada poin selanjutnya yang membuat kaum muslimin pada waktu itu
semakin tercengang, ketika Suhail bin Amru berkata: “Jika ada pihak
Quraisy yang menyebrang ke Madinah untuk masuk Islam tanpa persetujuan
walinya maka dia harus dikembalikan ke Quraisy. Tapi sebaliknya jika ada
kaum muslimin dari Madinah menyebrang ke Makkah, maka dia tidak akan
dikembalikan ke Madinah”. Kaum muslimin yang mendengar itu serentak
berucap “Shubhanallah, bagai mana kita kembali kepada golongan
musyrik, padahal kita semua sudah menjadi seorang muslim”. Lalu
beramai-ramai mereka mendatangi Rasulallah dan bertanya kepadanya:
“Apakah kita harus menulis ini wahai Rasulallah?” Rasulallah pun
menjawab: “Iya, sesungguhnya apa bila diantara kita datang kepada merka,
maka Allah akan melindunginya. Namun apabila di antara mereka datang
kepada kita maka Allah akan membuat untuknya jalan untuk memeluk Islam
(HR. Muslim)
Muqoddimah diatas adalah sebuah pembuka bagai mana dulu Rasulallah
pun ketika di awal menyebarkan risalahnya begitu banyak orang-orang yang
menentangnya, mulai dari mereka yang terdekat dengan beliau sampai
orang yang tidak mengenal beliau pun ingin memadamkan cahaya tauhid yang
dibawa oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam. Sikap diskriminasi yang
diterima oleh Nabi dan kaum Muslimin ketika itu tidak serta merta
membuat Nabi dan pengikutnya terprovokasi. Seperti pada peristiwa
perjanjian hudaibiyah, banyak dari kalangan kaum Muslimin
ketika itu merasa terdiskriminasi dengan isi perjanjian itu. Tapi Nabi
adalah seorang pemimpin yang bisa melihat masa depan, perjanjian hudaibiyah yang hampir semuanya merugikan pihak kaum Muslimin tapi ternyata adalah awal dibukanya jalan kemenangan bagi kaum Muslimin.
Adalah perang Ahzab yang merupakan tekanan terkuat bagi Nabi sebelum
terjadinya perjanjian hudaibiyah. Perang yang terbentuk dari koalsisi
golongan kaum kuffar itu disebut juga dengan perang Khandaq.
Koalisi terbesar, karena pada waktu itu seluruh kabilah dan suku arab
bersama orang-orang Yahudi akan menyerang Madinah dan menghancurkannya
sehancur-hancurnya dari dalam dan luar Madinah. Yang tidak bisa
diremehkan juga adalah kumpulan orang-orang munafiq pada wakt itu, serta
msusuh dalam selimut yang berada di Madinah yaitu dari kalangan Yahudi
Madinah Bani Quraidzah dan dari luar Madinah Bani Nadhir. Tapi Allah
maha kuasa bagi setiap hambanya, kekuatan yang maha dahsyat itu akhirnya
bisa dikalahkan atas bantuan Allah. Pada waktu itu Allah menjadikan
cuaca disekitar Madinah menjadi sangat dingin, dan Allah juga
mengirimkan badai yang sangat kuat. Belum lagi politik adu domba kepada
musuh serta strategi penggalian parit yang diprakarsai oleh Salman
Al-Farisi adalah wasilah dari Allah untuk menyelamatkan kaum Muslimin.
Beralih pada kondisi saat ini, umat Islam selalu dihadapkan pada
sikap diskriminasi yang tak pernah henti, bahkan di negara kita sendiri
Indonesia, sikap permusuhan itu selalu diperlihatkan oleh mereka yang
memiliki kepentingan dan bersembunyi disebuah bangunan bernama
pemerintahan. Sangat ironis memang, ketika disebuah Negara yang
berpenduduk muslim terbesar di dunia masih ada larangan untuk memakai
jilbab di instansi pemerintah ataupun pendidikan. Lalu pemuda-pemuda
yang taat dalam agamanya selalu dicurigai dan diawasi, ustadz-ustadz
yang mengajarkan ilmu agama dan menebarkan akhalqul karimah tiba-tiba
tanpa dalih apapun ditangkap oleh sekelompok pasukan polisi bersenjata
lengkap dengan tuduhan menebarkan paham terorisme. “Maaf bung! Indonesia
bukan Negara Islam”. Fine! Tapi buan berarti hak-hak umat
Islam untuk menjalankan kewajiban agama mereka harus dikebiri. Selalu
saja Islam yang di salahkan, padahal ketika masjid-masjid dibakar tidak
ada satupun media yang meliputnya dan menyampaikannya kepada public.
Tapi ketika ada gereja liar yang baru diminta oleh umat Islam untuk
menghentikan kegiatannya, media kuffar langsung mempublikasikannya
dengan berita yang lebay.
Tepatnya setelah peristiwa runtuhnya Menara Kembar WTC sebelas tahun
silam (11 September 2001) public barat semakin fobia terhadap Islam,
runtuhnya menara kembar itu telah berhasil menanamkan imej buruk tentang
Islam dibenak masyarakat Amerika dan Eropa. Sehingga istilah teroris
telah berhasil mereka sandingkan dengan agama yang hanif ini (agama
Islam). Hal ini juga dijadikan dalih oleh Amerika untuk menghancurkan
Irak dan Afganistan, “Perang melawan terorisme”. Bahkan peristiwa itu
juga telah berhasil mempengaruhi masyarakat Indonesia, hingga sebagian
masyarakat Indonesia pun fobia terhadap Islam, fobia di Negara yang
mayoritas penduduknya muslim dan sudah tidak asing lagi dengan
symbol-simbol Islam.
Sebelas tahun berlalu, selimut hitam yang menutupi kejadian
sebenarnya keruntuhan menara WTC mulai terungkap. Maka tanggal 11
September 2001, hari yang menjadi peristiwa “memilukan”, berubah menjadi
hari yang “memalukan”. Peringatan tragedi 11 September 2001, menjadi
Peringatan Pembohongan Tragedi 11 September. Kesan inilah yang muncul,
setelah 11 tahun berlalu.
(Profesor Steven E. Jones dari Brigham Young University, Utah, yang
melakukan penelitian dari sudut teori fisika mengatakan bahwa kehancuran
dahsyat seperti yang dialami Twin Tower serta gedung WTC 7 hanya
mungkin terjadi karena bom-bom yang sudah dipasang pada
bangunan-bangunan tersebut.
Teori fisika Jones tersebut tentunya sangat bertentangan dengan hasil
penelitian FEMA, NIST dan 9-11 Commision bahwa penyebab utama
keruntuhan gedung-gedung tersebut adalah api akibat terjangan pesawat
dengan bahan bakar penuh.
Dalam kertas kerjanya berjudul “Why Indeed Did the WTC Buildings
Collapse?” dan dipublikasikan harian Deseret Morning News yang terbit di
Salt Lake City dalam situsnya awal November lalu, Ilmuwan dari
Departerment of Physic and Astronomy, Brigham Young University itu
menguraikan secara ilmiah penyebab sesungguhnya dari kehancuran
tersebut.
Pihak Brigham Young University sendiri sebelumnya mengatakan bahwa
isi dari kertas kerja tersebut sepenuhnya tanggung jawab penulis, bukan
sebagai pandangan pihak universitas.
“Saya mengimbau dilakukan suatu investigasi secara serius atas
hipotesa bahwa gedung WTC 7 dan Menara Kembar WTC runtuh bukan hanya
oleh benturan (pesawat) dan kebakaran, tapi juga karena bahan peledak
yang sudah ditempatkan sebelumnya,” kata Jones). { Sumber: Artikel Abdul
Halim Mahally, Misteri Tragedi 11 September,
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=8797&coid=1&caid=45&gid=2}
Tapi ternyata peristiwa itu memberikan the big wisdom untuk
umat Islam dan penduduk Amerika sendiri. Diskriminasi yang diterima oleh
umat Islam hampir dibelahan dunia telah membuka mata masyarakat Amerika
dan Eropa untuk mempelajari dan mengetahui Islam lebih jauh. Jangan
heran jika di Amerika dan Eropa Islam semakin berkembang. Bahkan
prediksi 20 tahun kedepan Prancis akan menjadi Negara Eropa dengan
penduduknya yang mayoritas muslim.
Seharusnya di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim bisa lebih
banyak mengambil hikmah atas kejadian itu, bahwa Islam adalah agama yang
lembut yang mengajari pemeluknya untuk saling menyayangi dan
menghormati. Kurang bijak rasanya jika menjustifikasi Islam secara
keseluruhan hanya dilihat dari sebagian kelompok yang melakukan
perbuatan ekstrim atas nama agama Islam. Tugas kitalah para mahasiswa
yang mempelajari ilmu syar’i untuk meluruskan semua ini.
Lalu provokasi yang tidak pernah terputus, jauh sebelum zaman
Shalahuddin Al-Ayubi sampai saat ini yaitu kemerdekaan dan perdamaian
yang belum tercipta di Palestina khususnya di jalur Gaza. Palestina pada
tahun 1900 adalah sebuah wilayah yang damai dan tentram, walaupun
disana hidup berbagai manusia dengan kepercayaan yang berbeda. Islam,
Kristiani dan Yahudi hidup berdampingan dan damai tanpa ada sengketa
diantara mereka. Namun kedengkian yang merasuki segolongan kaum Yahudi
dan Nashrani telah menghancurkan perdamaian itu. Wallahu a’lam kapan
perdamaian itu akan kembali terwujud. Tapi yang pasti, jangan sampai
kita lupa untuk mendoakn saudara-saudara kita di sana. Karena Qadhiyah Palestina adalah Qadhiyah
seluruh umat Islam, bukan hanya permasalahan orang Palestina atau hanya
permasalahan orang-orang Arab saja. Karena Al-Quds milik umat Islam
bukan hanya Palestina.
“Barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka dia bukan dari mereka” (Dikeluarkan ath-Thabarani dalam ash-Shaghir)
“Perumpamaan kaum mukminin dalam kecintaan dan kasih sayang
mereka adalah bagaikan satu jasad, apabila satu anggota tubuh sakit maka
seluruh badan akan susah tidur dan terasa panas” (HR Muslim no. 2586)
Saya kira hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam diatas, cukup untuk
menegaskan bahwa qadhiyah Al-quds adalah qadhiyah kita semua, bukan
hanya qadhiyah Palestina semata. Semoga kita semua selalu ada dalam
inayah Allah. Dan menjadikan kita golongan orang-orang yang menutup
usianya dengan husnul khotimah. Wallahu a’lam.
0 komentar
Posting Komentar