We Are With You

We Are With You
The help of Allah is always near

RELEIVE GAZA'S ORPHANS

RELEIVE GAZA'S ORPHANS
Mari kita bantu saudara kita!

Karyaku

Karyaku
Ya Allah Semoga Bisa Diterbitkan

Followers

Kisah Dalam Gambar Slideshow: Rama’s trip from القاهرة, مصر to 3 cities جدة, مكة المكرمة and الزقازيق was created by TripAdvisor. See another مصر slideshow. Create your own stunning slideshow with our free photo slideshow maker.

Minggu, 24 Maret 2013

Sebening Subuh {5}




Kampung Permai, 18/03/2013

Masih di tengah gelap dan sepi, menjelang shalat subuh tadi aku melihat manusia-manusia subuh itu berjalan di sisi tepian sungai kecil yang berjarak sekitar 30 meter dari masjid tauhid. Dulu aliran sungai kecil itu memanjang melintas didepan pintu masjid sebelah utara. Tapi sekarang sudah dipasang pipa beton besar dibawahnya dan menjadi jalan yang biasa dilalui oleh penduduk Mau'af dan Syiba. Kubangan air yang biasa dijadikan tempat pemandian kerbau dan sapi juga sudah ditutup rata dengan tanah. Akhirnya warga syiba yang berprofesi sebagai sopir truk bisa melewati jalan itu dan memarkirkan mobilnya di sana.

Cahaya fajar saat itu tersenyum kearahku, dan bertanya "Apakah kau baru menemukan sesuatu?"

"Tentu kau masih ingat, tentang diskusi kita waktu lalu, melihat pemandangan ini aku jadi teringat pada sabda Rasul "Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan dalam kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sangat terang pada hari kiamat" (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

"Berjalan dikegelapan ketika shalat isya dan subuh. Bukankah ini salah satu keistimewaannya? Shalat subuh merupakan sumber dari segala sumber cahaya di hari kiamat saat semua sumber cahaya di dunia akan padam. Sungguh sangat beruntung orang yang bisa terbangun dan berjalan dalam keadaan gelap menuju masjid untuk melaksanakan shalat subuh berjama'ah". Mendengar jawabanku cahaya fajar sepertinya mulai mengerti, terlihat jelas dari gurat wajahnya yang bertaburan senyum.

Aku menoleh kearah ladang gandum yang masih menghijau disebelah kiri masjid tauhid. Tanaman di ladang itu selalu berubah, sesuai dengan keinginan pemiliknya, kadang ditanami kol, bawang merah, dan kali ini gandum. Hampir setiap musim aku memperhatikan perubahan itu. Tapi yang tidak berubah adalah, semua tanaman yang ada di ladang itu tidak pernah berhenti untuk memuji Allah. Tidak bergantung kepada musim, bahkan dalam cuaca buruk sekali pun, mereka tetap beribadah kepada Allah. Aku bisa merasakan bahwa tanaman-tanaman itu memiliki naluri yang hanya dipahami oleh mereka. Dari cara mereka beribadah kepada Allah. melalui pujian lirih yang hanya bisa didengar sesama mereka.

Saat ini aku hanya bisa berbagi dengan alam, Tentang kebesaran Allah tentang ke agungan-Nya, tentang segala kekuasaan-Nya, bahkan untuk orang terdekatku, aku belum bisa berbagi dengan mereka. Aku berharap ketika aku pulang nanti, Allah masih memberikanku kesempatan untuk menyampaikan segala keagungan-Nya. Kepada ayah dan ibu, kepada kakak dan juga adik-adiku, kepada paman dan bibi. Jika nenek masih ada, aku juga akan mengatakan hal ini kepada nenek.

"Aku juga masih ingat tentang kajian kecil kita, keistimewaan shalat subuh tidak hanya itu saja. Allah menjanjikan surga bagi mereka yang melaksanakan shalat subuh berjama'ah di masjid. Tapi aku lupa tentang hadist Rasul yang kau sampaikan waktu itu" ungkapan cahaya fajar membuatku kembali pada duniaku saat ini, rindu yang tak bertepi kepada orang-orang tercinta di Indonesia kadang membuat aku selalu terbang menghampiri mereka.

"Ternyata kau masih ingat tentang obrolan kita kemarin, hadits itu berbunyi "Barang siapa yang shalat di dua waktu yang dingin maka akan masuk surga (HR. Bukhari) kau tentu masih ingat bukan? Bahwa yang di maksud dengan dua waktu dingin itu adalah ashar dan subuh" Aku merasa takjub dengan kegigihan cahaya fajar yang tidak pernah surut. Padahal diskusi kecil itu kami lakukan ketika dalam perjalanan menuju pasar Syiba. Pasar murah meriah yang hanya dibuka seminggu sekali disetiap hari selasa.

Suara iqamah 'ammu Mahmud sudah terdengar, aku pun sedikit bergegas menuju masjid yang sudah kukenal dekat satu tahun belakangan ini. Mungkin karena sebelumnya aku tinggal di kawasan As-salam, walaupun aku sering melihat masjid tauhid tapi keakraban dan kedekatan itu terjalin selama aku tinggal di Mau'af. Lambaian masjid tauhid membuat aku tersenyum dengan kata-katanya yang membuat aku lupa dengan setiap masalah yang sedang aku hadapi.

Seperti biasa, setelah shalat subuh masjid tauhid selalu bercerita tentang apa yang ia rasakan. Kali ini ia mengungkapkan kegembiraannya karena akhir-akhir ini jama'ah shalat subuh selalu banyak meski tak sebanyak jama'ah shalat jum'at. Aku juga merasakan kegembiraan itu, karena semakin banyak jama'ah shalat subuh di masjid itu menunjukan bahwa umat Islam semakin dekat dengan kebangkitan. Ini yang dirisaukan dan ditakuti oleh seorang pembesar dan penguasa Yahudi, Seorang penguasa Yahudi itu pernah berkata, "kami baru takut terhadap umat Islam jika mereka telah melaksanakan Shalat Subuh seperti melaksanakan Sholat Jum'at"

Ada apa dengan shalat subuh? Ternyata shalat yang memiliki jumlah rakaat yang paling sedikit dengan shalat yang lainnya memiliki banyak keistimewaan yang sangat luar biasa. Hal ini juga yang mendorong Dr. Raghib As-Sirjani untuk menuliskan keutamaan shalat subuh dan mengungkap semua rahasia yang ada dibalik shalat subuh, dalam bukunya yang berjudul "Kaifa nuhaafidzu 'alaa shalaati al-fajri".
{Dibalik pelaksanaan dua rekaat di ambang fajar, tersimpan rahasia yang menakjubkan. Banyak permasalahan yang, bila dirunut, bersumber dari pelaksanaan shalat Subuh yang disepelekan. Itulah sebab, para sahabat Nabi berusaha sekuat tenaga agar tidak kehilangan waktu emas itu. Pernah suatu ketika mereka terlambat shalat Subuh dalam penaklukan benteng Tastar. “Tragedi” ini membuat sahabat semisal Anas bin Malik selalu menangis bila mengenangnya.

Menariknya, Subuh ternyata juga menjadi waktu peralihan dari era jahiliyah menuju era tauhid. Kaum ‘Ad, Tsamud, dan kaum pendurhaka lainnya, dilibas adzab pada waktu Subuh-yang menandai berakhirnya dominasi jahiliyah dan munculnya cahaya tauhid}. (Dikutip dari kata pengantar buku misteri shalat subuh penerbit: AQWAM)

Masjid tauhid juga bercerita tentang dua orang Syiria yang shalat dzuhur kemarin berada di tengah-tengah kami. Aku juga sempat kaget karena mereka sampai juga ke Zagazig.

"Menurutmu bagai mana tentang dua orang Syiria kemarin? Apakah kau melihatnya?" Pertanyaan masjid tauhid pagi itu mengingatkanku kembali pada peretmuan pertama dengan warga Syiria di masjid Ar-rasul Kairo. sama dengan pertemuan pertama ku, Warga syiria berkeliling Mesir untuk meminta bantuan finansial sambil memperlihatkan paspor mereka.

"Iya, aku melihatnya. Salah satu di antara mereka kebetulan shalat di sampingku. Ini pertemuanku kedua kalinya dengan warga Syiria, sebelumnya sekitar sebulan yang lalu aku bertemu dengan salah satu warga Syiria di masjid Ar-rasul Kairo. Waktu itu aku tidak bisa memberikan bantuan banyak, hanya sekedarnya saja. Selebihnya aku hanya bisa mendoakan mereka di setiap shalatku" masjid tauhid tersenyum mendengar jawabanku

"Aku juga hanya bisa berdo'a untuk mereka. Berharap semoga Allah cepat memberikan kemerdekaan untuk saudara kita di sana" balas masjid tauhid.

Jama'ah shalat subuh di masjid tauhid semakin sepi, satu persatu mereka keluar meninggalkan massjid, kulihat 'ammu Mahmud juga sudah menutup pintu sebelah kiri masjid. Aku pun mengakhiri percakapan pagi itu dengan masjid tauhid dan bergegas pulang. Tapi tak dinyana ketika aku sedang memakai sandal tiba-tiba ada cairan yang jatuh tepat menyentuh keningku. Mungkin tepat jika aku menyebutnya embun pagi, sahabat baruku yang akhir-akhir ini selalu menemaniku pulang kerumah setalah shalat subuh.

Embun pagi merasa heran ketika melihatku mengeluarkan handpon nokia C3 dan menuliskan sesuatu yang tak bisa ia pahami. "Apa yang kau tulis?" Tanyanya dengan penuh penasaran.
"Aku menulis tentangmu, kau yang baru saja mengagetkanku dengan rasa cintamu, menjatuhkan rindumu diatas keningku"
Embun pagi tersenyum mendengar jawabanku, ia semakin merasa indah dengan ucapanku.

"Apa disetiap subuh kau selalu membawa HP ke masjid" Embun pagi kembali bertanya
"Tidak juga, kebetulan hari ini lampu didepan pintu gerbang faltku padam, aku membawa HP hanya untuk memudahkanku membuka pintu gerbang"

"Sepertinya didalam handponmu lebih banyak tulisannya dari pada nomor kontaknya?"

"Bagai mana kau tahu?"

"Tadi, ketika kau menuliskan tentang aku, aku sempat melihat banyak tulisan di sana"

"Hehe.. Iya, aku selalu menuliskan apa yang terdetik dihatiku kedalam handpon ini"

"Sepertinya kau juga suka menulis puisi, bisakah kau bacakan puisi itu kepadaku? Aku suka puisi tapi aku tak pandai dalam menuliskannya"

"Tidak bisa, puisi ini bukan untukmu, tapi untuk seseorang yang menjadi inspirasi di balik terciptanya puisi ini"

"Ayolah! sekali ini saja, aku benar-benar ingin mendengarkan isi puisi hasil karya hatimu" Embun pagi terus mendesak, sebenarnya bukan aku tidak mau, tapi aku malu membaca puisi ini didepannya juga didepan udara pagi yang kini sudah duduk berbaris didepanku

"Baiklah sekali ini saja" Aku pun mulai membuka puisi yang terakhir sekali aku tulis, lalu membacanya di depan embun pagi disaksikan oleh matahari yang sebentar lagi akan memancarkan sinarnya, dan burung-burung kecil yang dari tadi sudah terbang riuh rendah disekitarku dengan kicaunya yang merdu mereka tersenyum melihatku sedikit gugup. Ladang gandum pagi itu mendadak senyap dan syahdu.

"Seperti langitku yang merindu pelangi, ia mencintai hujan dengan rinainya yang mengalun syahdu, membentuk melodi dalam derai sanubari.
Bukankah rasa itu manusiawi?
Tanyakanlah pada para penduduk langit, juga pada salju yang merintih dibalik jendela kamarmu, seperti itulah aku saat ini.
Memikirkanmu dalam tumpukan resahku, menulis namamu dalam setiap butiran salju yang turun menyentuh bumi.
Saat ini, saat aku menulis puisi tentangmu, dengan rentetan rindu aku melihatmu diantara kedua kelopak mataku, anggun dengan kesempurnaan yang dimiliki oleh para bidadari.

Tapi aku hanya mampu menerka setiap kata yang kau tulis, tentang rindu, tentang rasa yang tersirat di balik makna yang tak bisa kupahami.
Sekali lagi, aku hanya menerka, bercampur harap, merinduimu dari jauh, menunggu berita dari kabut putih yang membawa kabar tentangmu meski harus melewati satu pusim ia baru akan kembali.
Dalam sunyi, di antara ranumnya senja hadirmu selalu kurasakan, dalam warna jingganya yang menentramkan hati, dalam sinarnya yang meretas gundah memecah sepi.

Saat ini, saat aku asing bagimu, namun jarak tetap melukis kenangan diantara sisi timur dan barat, dua arah perkasa, yang tak mampu menghalangi.
Beberapa tahun lagi, cerita ini akan selalu indah, dan saat itu, mungkinkah bidadari bergaun putih itu sudah kumiliki?"

Setelah membaca puisi itu, aku semakin merasa malu. Malu pada dunia yang ada didepanku, bercampur bingung melihat embun pagi tak berekspresi selama beberapa detik. Meski akhirnya iapun bertepuk tangan mengikuti gerak udara pagi dan juga burung-burung kecil yang sudah bertepuk tangan terlebih dahulu. Entahlah semoga tepuk tangan mereka benar-benar dari hati, bukan hanya sekedar untuk membuatku tersenyum.

"Wah.. Puisi yang indah, aku bingung bagai mana kau membuat puisi seperti itu?" Tanya Embun pagi masih dengan wajah penuh takjub.

"Mudah saja, kau cukup membuka hatimu, lalu tulis apa yang kau rasakan" jawabku singkat.
Setelah itu kamipun berpisah, matahari yang sudah memancarkan sinarnya mengharuskan embun pagi untuk segera beranjak dari areal ladang gandum tempat kami bertemu tadi. Hari ini, semoga Allah menjaga setiap muslim di manapun mereka berada.

0 komentar

Posting Komentar