Pagi ini aku kehilangan senyum fajar yang biasa menemaniku disetiap subuh, cahaya merahnya tak bisa lagi ku sentuh. Entah kenapa.. Semenjak kubuka pintu gerbang flatku, ia menampakan muka masam kearah ku. Senyum ku pun tidak dihiraukannya, ia selalu memalingkan wajahnya ketika aku berusaha untuk menatapnya. tapi, ia tetap mengikuti ku dari belakang, mengiringi langkahku untuk sama-sama menghadap pada panggilan suci. Panggilan Allah diwaktu subuh.
"Ya Rabb.. Aku bahagia karena Engkau masih merangkulku untuk bisa bertemu subuh. Mengawali hariku dengan bersujud pada-Mu. Tiada cinta yang lebih indah selain cinta-Mu, Tiada naungan yang bisa melindungi dan menyelamatkan ku selain naungan-Mu". Semoga di suatu hari nanti, ketika tidak ada pertolongan selain pertolongan-Mu, aku termasuk dalam golongan hambamu yang mendapatkan rahmat-Mu, berdiri bersama mereka yang mendapatkan naungan dan cinta-Mu.
"Ya Rabb.. Aku bukan seorang pemimpin yang adil, juga bukan termasuk hambamu yang selalu bersedekah secara sembunyi-sembunyi. Aku hanya seorang pemuda yang selalu berusaha mencintai-Mu dan berusaha tumbuh diatas kebiasaan beribadah kepada-Mu. Aku hanya seorang lelaki yang berusaha menautkan hatinya dengan masjid. Dengan penghambaanku yang sangat sederhana dan sangat kecil, aku ingin menjadikan-Mu diatas segalanya. Hingga Engkaupun redha kepada ku".
Langkah ku terhenti ketika tiba-tiba angin pagi itu menerpa sorban hitam ku. Aku ingin menyapanya tapi melihat cahaya fajar yang masih acuh kepadaku sepertinya aku harus mengurungkan niatku. Pagi ini biarlah aku berjalan sendiri dulu biar setlah shalat subuh nanti aku akan menanyakan padanya apa yang terjadi.
Rasa tentram seketika memeluku ketika aku tiba di pelataran masjid Tauhid, ku lihat ada beberapa orang yang memasuki pintunya di sebelah utara, aku pun sedikit berbegas dan bisa melihat melihat masjid Tauhid menatapku dengan senyumnya.Tidak banyak cakap, itu yang biasanya ia lakukan setiap menjelang shalat subuh. Aku memahami ritinitasnya, sebelum iqamah berkumandang masjid Tauhid selalu memanjatkan doa untuk setiap jama'ah yang hadir di pagi itu, juga untuk semua saudara muslim kami yang saat ini sedang mengalami banyak diskriminasi. Ia pernah mengatakan kepadaku bahwa salah satu waktu untuk mustajab untuk berdoa adalah doa di antara adzan dan iqamah. Nabi pernah bersabda tentang hal ini yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, bahwa: "Doa tidak akan ditolak di antara adzan dan iqamah". (Sunan Abu Daud, kitab Shalat 1/144 No. 521. Sunan At-Tirmidzi, bab Jamiud Da'waat 13/87. Sunan Al-Baihaqi, kitab Shalat 1/410. Dishahihkan oleh Al-Albani, kitab Tamamul Minnah hal. 139)
"Dua hari ini aku tidak melihatmu? Apa kau shalat di masjid yang lain?" Sesudah shalat subuh masjid Tauhid bertanya kepada ku. Matanya masih ia pejamkan bibirnya pun masih bergerak mengagungkan Zat yang memilikinya.
"Dua hari yang lalu aku berada di Fayum, untuk mengikuti program mukhayyam tarbawi" Sambil bersandar ke tiang masjid aku berusaha menjelaskan ketiadaanku dua hari kemarin.
"Mukhayyam tarbawi? Acara apa itu? Bisa kau jelaskan sedikit lagi" Masjid Tauhid sepertinya semakin tertarik dengan penjelasanku.Aku menarik nafas panjang berusaha memberikan penjelasan semudah mungkin pada masjid Tauhid.
"Dalam acara itu kami semua semakin dikenalkan dengan prinsip dakwah, dengan rintangan dan tujuannya. Di sana Kami semakin di eratkan dengan ukhwah, persahabatan dan persaudaraan. Kami juga di tunjukan bagai mana caranya untuk menjadi manusia rabbani, manusia yang bisa mengenal tuhannya, manusia yang bisa memberikan kebaikan dan manfaat bagi orang lain. saat itu aku sangat terkesan dengan salah satu pematerinya, beliau bernama Insinyur Jabir Abdu Salam, ketika beliau menyampaikan firman Allah bahwa Allah memilih utusannya dari para malaikat dan manusia.
Setelah Rasulallah SAW meninggal 14 abad yang lalu, siapa lagi yang jadi penerus risalahnya, selain para ulama dan orang-orang yang istiqamah di jalan dakwah. Beruntung sekali orang yang menajdi pewaris risalah Nabi. Dan aku berharap satu di antara mereka adalah aku". Masjid Tauhid tersenyum mendengar penjelasan ku.
"Aku mengerti sekarang, insya Allah aku akan selalu mendo'akanmu semoga kau pun bisa berada diantara mereka. Bersama orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk membumikan risalah-Nya"
Pagi itu aku tidak langsung pulang ke rumah, perubahan sikap cahaya fajar masih mengusik perasaan ku. Sebelum cahaya merahnya tertutup oleh mentari aku harus menanyakan padanya apa yang terjadi. Kalau tidak, ia akan tidur dengan hatinya yang gundah dan wajahnya yang masih bermuka masam. Ini juga kesempatanku untuk berlama-lama dengan pagi, menyapa bening embunnya dan menghirup udara segarnya.
Embun pagi menatapku girang, dari jauh sudah bisa ku cium wangi segarnya. Mengingatkan ku dengan seorang dokter, rekan kerjaku dalam misi haji di kota Makkah dulu. Semoga Allah selalu melindunginya dan memberkahinya. Biasanya ketika jadwal kedatangan jama'ah haji mlai longgar, setiap pagi setelah shalat subuh kami selalu berdiskusi tentang pagi. Sebetulnya aku yang banyak bertanya padanya tentang hubungan pagi dengan kesehatan. Yang masih aku ingat sampai sekarang adalah ketika beliau menerangkan tentang udara pagi, waktu itu beliau mengutip perkataan Dr. Abdul Hamid Dayyab dari Universitas Kairo, Mesir, bahwa gas O3 diudara sangat melimpah di waktu fajar, kemudian akan berkurang sedikit demi sedikit sampai matahari terbenam. Gas O3 mempunyai pengaruh positif positif pada urat saraf, mengaktifkan kerja otak dan tulang. Ketika seseorang menghirup udara fajar yang dinamakan udara pagi, dia merasakan kenikmatan dan kesegaran tiada taranya diwaktu manapun, baik siang atau malam"
Selain itu kalau kita ingin menggali lagi lebih dalam tentang waktu pagi, kita akan menemukan bahwa sinar matahari ketika terbit dekat dengan warna merah dan di maklumi pengaruhnya dalam merangsang syaraf dan membangkitkan kesadaran dan gerakan (mobilitas), sebagaimana sinar matahari setelah naik beberapa tingginya, sangat baik untuk kesehatan kulit karena mengandung vitamin D.
Penjelasan beliau kadang membuat aku malu, ketika beliau menjelaskan tentang kesehatan, beliau selalu mengutip hadits Nabi. waktu itu aku berpikir seharusnya aku yang lebih tahu tentang hadits-hadits itu, tapi beliau yang berlatar pendidikan umum bisa lebih mengetahuinya dan bisa mengkorelasikannya dengan ilmu kedokteran yang dimilikinya. Andai semua dokter di Indonesia bisa seperti beliau, hafal banyak hadits, dan ayat-ayat Al-Qur'an serta berahklakul karimah Insya Allah tidak ada lagi pasien dari kalangan bawah yang harus di usir dari rumah sakit dan meninggal tanpa mendapatkan pertolongan.
Embun pagi masih tersenyum, titik-titik beningnya masih melekat di antara daun-daun tanaman bawang merah yang beranjak tumbuh dan terlihat sangat hijau. Begitu juga dengan tanaman gandum, batangnya yang mulai menjulang masih terbungkus oleh embun. Aku berusaha menggapai mereka dengan tangan kananku, menyapa mereka dengan sentuhan lembutku. Aku yakin mereka mengerti dengan bahasa yang kusampaikan. Meski aku tak mengerti bahasa mereka, tapi keindahan yang mereka tampakan padaku cukup mewakili bahwa mereka menyukai keberadaan ku didekat mereka.
"Hai, kau pria pagi! Aku rindu dengan puisimu. Kapan kau akan menulis puisi lagi dan membacakannya kepadaku?" Embun pagi yang sudah merasa jaraknya sangat dekat dengan ku langsung menodongku dengan pertanyaan yang membuatku terdiam. Mendengar pertanyaannya, aku jadi teringat pada seseorang yang pernah bertanya kepada ku tentang hal serupa. Tapi entahlah aku lupa.
"Maafkan aku embun pagi, kali ini aku tak bisa membacakan puisi untukmu. Aku selalu menulis puisi, tapi sekarang aku tidak mungkin membacakannya untukmu" Aku melihat gurat kekecewaan di wajah embun pagi. Aku benar-benar menyesal tidak bisa memenuhi keinginannya, padahal ia sudah sangat berharap padaku. Tapi jika kuturuti pasti aku harus menunda pertemuanku dengan cahaya fajar yang sebentar lagi akan terlelap tidur.
"Tidak apa-apa, tapi aku harap besok ketika kau melewati jalan ini lagi, kau bisa membacakan puisi lagi untuk ku" Embun pagi berusaha tersenyum ketika melontarkan jawaban itu. Aku hanya bisa berterima kasih atas sikap bijak dan pengertiannya.
Akhirnya aku bisa menemukan cahaya fajar, aku lihat cahayanya mulai meredup terhalang oleh purnama yang masih berpendar. Setelah sampai didekatnya dengan nada sehalus mungkin aku mulai menanyakan keadaannya.
"Dari sebelum subuh sepertinya kau menghindariku, apa kau marah pada ku?"
"Sudahlah tidak usah kau bahas tentang ini, karena akan banyak alasan mengapa orang harus menghindari kita, dan berpura-pura tidak melihat kita. Setelah shalat subuh tadi sebenarnya aku mau menemuimu. Tapi sepertinya kau sedang serius berbicara dengan masjid Tauhid. Makanya sekarang aku berada ditempat ini, karena aku yakin kau pun pasti akan menyusulku kesini". Cahaya fajar berhenti sejenak lalu menarik nafas panjang untuk meneruskan perkataanya.
"Sebenarnya aku merasa tersinggung ketika kau pergi ke Fayum kau tidak memberi tahuku. Tapi sudahlah aku anggap semuanya sudah selesai, bukankah tidak baik bila sesama muslim kita saling diam dan tidak saling menyapa" kali ini aku melihat senyum yang tulus tersungging di bibirnya.
"Aku benar-benar minta maaf. Waktu itu aku memang sedikit terburu-buru karena belum menyiapkan barang-barang yang harus aku bawa ke Fayum, lain kali ketika aku akan bepergian jauh aku akan memberitahumu"
Aku mengerti sekarang, cahaya fajar ingin menyampaikan bahwa sebagai seorang sahabat ia merasa kehilangan dengan ketiadaanku. Sebenarnya ia sangat khawatir ketika ia tidak melihat ku dua hari kemarin. Bukankah Allah mencintai hambanya yang bersahabat dan saling mencintai karena-Nya. Sampai di hari kiamat nanti Allah akan menaungi mereka dengan kasih sayang-Nya. Karena mereka termasuk kedalam golongan manusia yang saling mencintai karena Allāh; mereka bertemu dan berpisah karena-Nya. Seprti inilah makna persahabatan yang di tanamkan oleh cahaya fajar kepadaku.
0 komentar
Posting Komentar