Sabtu, 09 Februari 2013
"Persoalannya sekarang adalah, kenapa banyak orang yang cerdas tapi tidak cerdas hatinya? Banyak orang yang pintar tapi prilakunya tidak sepintar otaknya. Banyak orang cerdas di kepala tapi tidak cerdas didalam hati" (sedikit mengutip perkataan Papin Maesa)
Label:
Artikel
Selepas ashar tadi, semuanya berjalan
begitu cepat. Bersitan hati menerawang
tentang waktu dan kondisi yang membentuk
kebiasaan dalam diri makhluk yang
diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh
kesah,dan apabila ia mendapat kebaikan ia
amat kikir. Itulah kita, manusia. Karena
kita yang menciptakan kebiasaan itu,
semuanya bergerak mengikuti nalar yang ada
dalam lingkungan yang kita tinggali.
Di antara kita, siapa yang tidak pernah
mendengar sebuah pepatah bahwa manusia
tercipta dari lingkungnnya. Lingkungan di
sekitar kita membentuk karakter yang
menjadi kebiasaannya. Ketika kita berada di
ligkungan yang berdisiplin, secara otomatis
kita pun akan hanyut dalam arus lingkungan
itu. Ketika kita berada di sebuah pesantren
ataupun sekolah yang berasrama, sangat kita
rasakan segala sesuatunya sudah teratur.
Misalnya jam sepuluh malam kita sudah harus
tidur, lalu jam empat pagi kita juga harus
terbangun untuk bersiap-siap pergi ke
masjid melaksanakan shalat subuh. Jam tujuh
pagi kita sudah harus berada di kelas
sampai waktu istirahat jam sembilan pagi,
dan seterusnya.
Kebiasaan berdisiplin itu, menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari penghuni
lingkungan itu. Di sebuah lembaga
pendidikan Islam yang mengusung tinggi
nilai akhlaqul karimah, semua penghuni di
sana wajib mematuhi semua peraturan itu.
Siswa ataupun guru, semuanya harus taat
pada disiplin yang sudah ada. Baik yang
tertulis ataupun tidak tertulis.
Sore tadi pun angan itu terbang ke masa
lalu, mengusik kembali masa-masa ketika
duduk di bangku SMP. Baru terpikir, bahwa
ketika saya di sana pun sangat dituntut
berdisiplin. Guru-gurunya mengajari saya
untuk menjadi manusia yang berbudi pekerti.
Bahkan di Jepang yang kebanyakan lembaga
pendidikannya berpaham liberal tetap
mengedepankan disiplin dan budi pekerti
yang tinggi bagi setiap siswa atapun
pengajarnya.Saat itu saya mengambil sebuah
kesimpulan bahwa setiap lembaga pendidikan
mempunyai misi bukan hanya mencerdaskan
manusia. Tapi juga mendidik manusia untuk
menjadi manusia yang berbudi pekerti dan
berakhlaqul karimah.
Persoalannya sekarang adalah, kenapa banyak
orang yang cerdas tapi tidak cerdas
hatinya? Banyak orang yang pintar tapi
prilakunya tidak sepintar otaknya. Banyak
orang cerdas di kepala tapi tidak cerdas
didalam hati (sedikit mengutip perkataan
Papin Maesa)
Padahal orang-orang cerdas itu
berpendidikan tinggi dan banyak yang lahir
dari institusi pendidikan yang unggulan dan
ternama. Belum lama ini kita di suguhkan
dengan berita dari media tentang tawuran
pelajar, hingga menewaskan salah satu di
antara mereka. Dan masih banyak berita-
berita lainnya yang menggambarkan betapa
ironisnya pendidikan di negara kita.
Kita juga tidak bisa menyalahkan lembaga
tempat mereka belajar. karena untuk
menciptakan generasi yang madani
membutuhkan kerja keras dan juga kerja sama
dari semua pihak, dalam hal ini adalah
pihak sekolah dan orang tua memiliki peran
penting dalam pembentukan jiwa para siswa
dan anak-anaknya.
Suatu hari, pernah ada teman yang
berceloteh, “Kalau inget masa-masa di
pesantren dulu, rasanya indah banget.
Damai, tentram, tidak ada orang jahat di
dalamnya. Senakal-nakalnya anak pesantren
paling hanya merokok dan sering kabur-
kaburan dari pesantren. Itupun pihak
pesantren langsung mentahdzir dan
memberikan hukuman. Setelah itu semuanya
kembali pada porosnya, mereka membaur
kembali pada disiplin yang ada di
pesantren” tidak lama setelah itu teman
saya berujar dengan nada heran “Tapi kenapa
setelah mereka selesai dari pesantren
mereka banyak meninggalkan ajaran dan ilmu
yang sudah mereka dapatkan di pesantren?”
Kegelisahan teman saya itu juga mengusik
pikiran saya. Karena memang benar apa yang
dirisaukannya, tidak sedikit mereka yang
dulu belajar di pesantren tapi setelah
keluar dari pesantren mereka melepaskan
jilbab dan berbusana seperti perempuan
jahiliyah. Yang laki-lakinya pun banyak
yang terjerumus pada pergaulan bebas.
Seolah-olah mereka lupa bahwa mereka pernah
belajar di pesantren. Naudzubillahi min
dzalik.
Kita pun tidak bisa menyalahkan pesantren
yang telah mendidik mereka. Karena semakin
bertambahnya usia seseorang ia akan semakin
paham tentang dua hal yang ada di dunia,
yaitu kebaikan dan keburukan, ia akan
semakin bisa membedakan antara hitam dan
putih. Sebelum bertindak ia akan berpikir
tentang sebab dan akibatnya, tentang
mudharat dan manfaatnya.
Solusi terakhir, kita harus senantiasa
memuhasabah diri. Apakah kita sudah menjadi
manusia yang beriman? Apakah kita sudah
menjadi manusia yang berakhlaqul karimah?
Bukankah kita sudah sama-sama mengetahui
bahwa Nabi diutus untuk menyempurnakan
akhlak manusia. Lalu kenapa kita enggan
mengikuti sunah dan perintah Rasul kita
yang sudah dijamin kemuliaannya oleh Allah
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi
pekerti yang agung” (QS. al-Qalam/68: 4).
Hasan Al-Bashri juga berkata “Akhlak luhur
seorang mukmin adalah perkasa dalam
kelembutan, kokoh dalam memegang ajaran
agama, iman dan keyakinan, hasrat tinggi
mencari ilmu, hemat dalam belanja, mau
memberi saat lapang rezeki, qana’ah saat
kekurangan, kasih sayang terhadap orang
yang kekurangan, memberi dengan kemurahan
hati, dan istiqamah dalam kebaikan.
Selanjutnya, ketika kita sudah terbiasa
dengan lingkungan yang baik, lalu kita
dihadapkan pada lingkungan yang tidak kita
kehendaki, maka ciptakanlah lingkungan baik
itu, jangan sampai malah kita yang terbawa
oleh lingkungan yang tidak baik itu.
Mungkin sedikit berat tapi hasil dari
kesusahan itu adalah kebaikan yang tidak
akan terputus.
Beruntunglah kita yang berada dilingkungan
yang baik dan islami. Maka jangan sia-
siakan kesempatan baik itu untuk selalu
mendekatkan diri kepada Rabb kita. Mulai
dari hal yang biasa kita lakukan, seperti
melaksanakan shalat berjama’ah di masjid
walaupun kita dalam keadaan sibuk,
tinggalkanlah kesibukan itu sebentar,
luangkanlah waktu barang 10 menit untuk
menghadap Rabb kita.
Selain itu, bergabunglah dalam sebuah
jama’ah yang selalu menunjukan kita dalam
kebaikan. Karena ketika dalam jama’ah kita
akan selalu termotivasi untuk selalu
istiqamah menjadi manusia yang berakhlaqul
karimah. Berpegang teguh pada keyakinan dan
keimanan. Di sana ada yang selalu
mengingatkan dan juga menunjukan kita untuk
selalu berpegang teguh pada keimanan dan
mengerjakan amal saleh dan nasihat
menasihati supaya menaati kebenaran dan
nasihat menasihati supaya menetapi
kesabaran.
Wallahu a’lam
Kampung Permai, 09/02/013
0 komentar
Posting Komentar