We Are With You

We Are With You
The help of Allah is always near

RELEIVE GAZA'S ORPHANS

RELEIVE GAZA'S ORPHANS
Mari kita bantu saudara kita!

Karyaku

Karyaku
Ya Allah Semoga Bisa Diterbitkan

Followers

Kisah Dalam Gambar Slideshow: Rama’s trip from القاهرة, مصر to 3 cities جدة, مكة المكرمة and الزقازيق was created by TripAdvisor. See another مصر slideshow. Create your own stunning slideshow with our free photo slideshow maker.

Jumat, 04 Mei 2012

Dalam pelukan Gaza



Angin malam yang bertiup dari arah gurun terasa sangat dingin, dengan gelagat kabut putih  yang sudah terlihat semenjak senja sore tadi menandakan bahwa  musim dingin kali ini memang berbeda dengan tahun lalu, terasa lebih dingin dan sangat ekstrim, bahkan di Eropa musim dingin kali ini banyak merenggut korban jiwa dikarenakan suhu dinginnya sudah melampaui batas, sampai min 41 derajat. Namun keadaan cuaca yang begitu ekstrim itu tidak menyurutkan seseorang yang dari tadi termenung didepan puing-puing reruntuhan masjid dan sebuah sekolah dasar  yang hampir rata dengan tanah. Entahlah apa yang sedang dipikirkan oleh orang itu, setelah selesai melaksanakan shalat isya, ia lebih memilih untuk berjalan sendiri, meninggalkan teman-temannya yang masih mengobrol sambil melepas lelah setelah seharian penuh mengurus orang-orang yang terluka akibat serangan rudal dan pospor putih yang dalancarkan oleh tentara Zionis Israel.
Orang itu adalah Hanan, seorang yang berkewargaan Indonesia yang hampir satu tahun menjadi relawan di jalur Gaza. Bisa dikatakan takdir Allah lah yang telah membawanya kesana, melalui doa-doanya yang selalu ia panjatkan siang dan malam. Dan akhirnya keinginan besar yang  sudah lama terpendam itu bisa ia wujudkan, tepatnya setelah ia lulus dari al-azhar tahun 2010 silam. Berawal ketika ada tawaran untuk menjadi penerjemah para relawan dari Indonesia yang akan mengantarkan bantuan ke jalur  Gaza, tanpa pikir panjang tawaran itu langsung ia terima. Karena  Ia berpikir tawaran itu adalah jawaban dari setiap doanya selama ini. hampir saja iapun harus pulang kembali ke Mesir ketika mengungkapkan keinginannya kepada ketua relawan bahwa ia ingin tetap berada dijalur Gaza mengabdikan diri, berjihad dijalan Allah dengan saudara-saudara seimannya yang lain. Namun berkat kesungguhannya akhirnya Hanan pun bisa meyakinkan ketua relawan.
 “Hanan, sudah kau pikirkan dengan matang mengenai keinginanmu itu? dua hari lagi sebagian dari kami harus kembali ke Indonesia dan tentunya kalianpun harus pulang kembali ke Mesir” ucap pak Patria  ketua relawan ketika itu.
“Aku sudah memikirkannya matang-matang pak, dan orang tuakupun sudah mengizinkan ku, insya Allah pendirianku tetap sama seprti semula” jawab Hanan tegas.
Waktu itu pak Patria hanya bisa menatap Hanan dengan tatapan bangga, dizaman seperti ini ia masih bisa menemukan sosok seperti Hanan, seorang pemuda yang rela mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran meskipun nyawa yang harus menjadi taruhannya. Pertama kali pak Patria mendengar pernyataan Hanan, sebenarnya ia sudah sangat senang, tapi untuk menjadi seorang relawanpun harus melalui proses dan prosedur yang sudah ditetapkan. Namun setelah ia berkordinasi dengan pengurus pusat dan mendapat persetujuannya akhirnya Hanan pun diperbolehkan bergabung bersama mereka.
Hanan sendiripun sadar, pilihan yang dia ambil tidak terlepas dari sebuah resiko besar, ketika pertama kali ia menginjakan kakinya di Gaza pemandangan yang luar biasa justru malah membuat semangatnya semakin membara, pemandangan yang membuat darahnya berdesir. Ia bisa melihat kebiadaban tentara Zionis Israel dari sebuah masjid yang sudah hancur luluh lantah, dengan puing-puingnya yang berserakan, dari sebuah sekolah dan rumah-rumah penduduk yang hancur tak berbentuk lagi. Namun disisi lain Hanan juga melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Betapa terkejutnya ia ketika melihat anak-anak yang masih beruisa lima tahunan memiliki semangat juang yang sangat tinggi.
“Demi Allah, sedikitpun kami tidak pernah takut dengan para tentara Zionis Israel” jawaban itu yang mereka lontarkan ketika suatu hari pak Patria bertanya kepada mereka. Hanan tertegun menyaksikan kesungguhan dari wajah anak-anak yang memiliki ghirah tinggi itu. Ditanah jihad itu juga Hanan bertemu dengan sahabat-sahabat barunya, sosok sahabat yang memiliki semangat juang tinggi, seperti Yusuf salah satu relawan yang juga mengabdikan dirinya ditahun yang sama dengan Hanan. Yusuf yang kini menjadi sahabat dekat Hanan adalah seorang dokter muda, yang sangat bersemangat. Tidak peduli siang ataupun malam ketika ada seseorang yang membutuhkannya ia selalu siap sedia. Sama seperti pak Patria Wijaya, ia juga seorang dokter namun ilmu agama yang dimilikinya sama seperti orang yang sudah master di Al-azhar.  
"Janganlah sekali-kali berpikir menjadi dokter untuk mengejar materi,tapi jadilah dokter untuk menjadi khalifah" inilah salah satu nasehat pak Patria kepada Yusuf yang masih terniang dalam benak Hanan.
“Hanan, apa yang sedang kau lakukan tengah malam begini?” apakah kau masih merisaukan hasil diagnosa tadi siang?” pertanyaan Yusuf membuat Hanan tersadar dari angannya.
“Entahlah yusuf, aku hanya merasa maut seolah-olah sudah sangat dekat denganku” jawab Hanan dengan tatapan yang masih mengarah kesebuah sekolah yang sudah menjadi puing.
“Hanan, aku tidak percaya jika kau begitu cepat menyerah, itu hanya hasil diagnosa sementara pak Patria. Bulan depan setelah kau melewati beberapa terapi, aku yakin penyakit yang ada didalam tubuhmu pasti akan sembuh. Kau harus percaya padaku Hanan, karena akupun seorang dokter” balas Yusuf berusaha meyakinkan sahabatnya.
“Aku percaya padamu Yusuf, tapi semua yang disampaikan oleh pak Patria tadi siang aku benar-benar merasakannya, aku yang tiba-tiba kehilangan keseimbangan tubuhku, hampir terjatuh ketika sedang berjalan, ataupun sedang melakukan aktivitas lain, kadang pandangan matakupun kabur, dari jarak lima meter aku tidak bisa mengenali siapa orang yang ada didepanku, dan tentang ingatanku yang semakin melemah, akupun merasakannya, aku takut sewaktu-waktu aku tidak bisa mengenalimu lagi Yusuf. Bagiku sangat menyedihkan bila tiba-tiba aku harus lupa kepada sahabatku sendiri” ucapan Hanan yang parau terasa menyayat dihati Yusuf, ia pun merasakan betapa sahabatnya kini dihadapkan pada sebuah dunia yang pahit, seolah ia sudah bisa melihat dan memprediksi bagaimana akhir dari cerita hidupnya.
“Hanan, jangan pernah sekali-kali terpikirkan olehmu untuk menyerah, karena yang aku tahu kau adalah sosok yang kuat, penuh gairah dan bersemangat, aku akan membantumu semampuku untuk bisa memulihkan penyakit yang ada dalam tubuhmu. Tapi berjanjilah, kau akan tetap menjadi Hanan seperti yang aku kenal” kali ini Yusuf berkata sambil merangkul pundak sahabat dekatnya itu.
Hanan tahu bahwa ucapan Yusuf bukan hanya sekedar  untuk menghiburnya dan meringankan beban hatinya, Hanan benar-benar tahu siapa Yusuf, walaupun ia bukan jebolan sebuah pesantren namun keislamannya jauh lebih bagus dibanding dengan orang-orang yang mengaku dirinya jebolan pesantren. Pertama kali Hanan bertemu Yusuf ia sudah terkesan dengan sikapnya, ucapannya serentak dengan amalanya, ia tidak berani memberikan sebuah nasihat kecuali ia sudah melakukannya. Ketika melihat Yusuf, Hanan teringat akan salah seorang sahabat Rasul, Mus’ab bin Umair seorang bangsawan Quraisy yang meninggalkan kemewahan dunia demi dakwah Islam, seorang sahabat yang meninggalkan kedua orang tuanya karena menentang keislamannya. Begitulah yang ia tahu tentang Yusuf dari cerita pak Patria.
“Terima kasih Yusuf, aku sangat beruntung memiliki sahabat sepertimu. Didekatmu keyakinanku akan kebesaran Allah selalu naik dan tak pernah surut. Insya Allah, aku tidak akan pernah menyerah karena aku yakin rahmat Allah lebih luas dari murkanya” balas Hanan dengan senyum yang mulai tersungging dari mulutnya, Yusuf pun semakin erat merangkul sahabat seperjuangannya itu.
Keesokan harinya, Hanan sudah melupakan kegundahan hatinya, tak ada raut kesedihan yang tergambar diwajahnya. Seperti biasanya pagi itu Hanan sudah berbaur dengan para penduduk sekitar saling bahu membahu membangun sebuah rumah sakit dijalur Gaza, Pak Patria dan Yusuf yang melihatnya pun tersenyum kagum, karena sosok Hanan telah membuat langit Gaza tersenyum kembali.
“Kau lihat Yusuf, Hanan memang orang yang penuh dengan semangat juang. Ia tidak menyerah begitu saja dengan keadaan tubuhnya. Kemarin, aku sempat khawatir jika aku menyampaikan yang sebenarnya, Hanan akan terpukul karena merasa hidupnya tinggal menghitung bulan. Tapi ternyata dugaanku salah, semangat Hanan dan rasa percaya diri nya malah semakin bertambah. Yusuf, aku harap kau bisa membantunya untuk menjalani terapi penyembuhannya”. Ujar pak Patria didepan sebuah tenda yang berpungsi sebagai klinik dan pos kesehatan.
“ Insya Allah pak, aku akan melakukan yang terbaik untuk membantu kesembuhan Hanan, dia adalah sahabat terbaiku yang menuangkan banyak inspirasi kedalam kehidupanku. Keluguan dan kesederhanaannya  adalah salah satu sikapnya yang aku kagumi. Dia adalah sahabat yang sangat istimewa bagiku, karena kami dipertemukan oleh Allah ditanah jihad yang tak pernah diduga sebelumnya.” balas Yusuf dengan tatapan matanya yang tak terlepas dari Hanan.
“aku senang mendengar jawabanmu Yusuf, semoga kitapun tidak pernah putus dalam berusaha, bertawakal  dan berdo’a kepada Allah. Karena manusia tidak akan pernah tahu, apa yang akan terjadi dihari esoknya”.  Ujar pak Paktria sambil menepuk-nepuk pundak Yusuf.
“insya Allh pak, saya akan mengikuti nasihat dan saran bapak” timpal Yusuf dengan senyumnya yang mengembang.
Dua bulan berlalu, keadaan Hanan semakin hari semakin membaik.  Keceriaan, semangatnya dan kegigihannya semakin hari semakin membuat orang yang ada didekatnya terkagum-kagum, anak-anak Gazapun banyak yang menyukainya, ini yang kadang membuat Yusuf merasa sedikit iri dengan Hanan. Ketika pertama kali datang ke Gaza Hanan sudah bisa berbaur  dengan penduduk Gaza, mungkin karena latar belakang Hanan yang sudah memiliki kecakapan dalam berbahasa arab ia bisa mudah bergaul dan cepat memahami apa yang dirasakan oleh masyarakat Gaza ketika itu. Tugasnya sebagai penerjemah membuat keberadaannya selalu dibutuhkan. Bukan hanya itu yang membuat Yusuf iri, ketika datang utusan dari Human Rights Watch yang ingin mewawancarai beberap penduduk Gaza, Hanan juga yang menjadi penerjemahnya, Hanan menerjemahkan bahasa inggris kebahasa arab dan juga sebaliknya. Yusuf semakin terpukau ketika melihat  Hanan bisa berbicara dengan lancar dalam bahasa inggris. Tapi rasa iri Yusuf bukanlah rasa untuk bisa menyaingi dan mengalahkan Hanan, ia iri terhadap wawasan dan keilmuan Hanan, ia iri karena lantunan Hanan ketika membaca alqur’an sangat indah. Dan ia juga iri dengan keimanan Hanan.
 Seiring dengan hampir rampungnya rumah sakit Indonesia dijalur Gaza, dalam balutan senja dengan gumpalan asap hitam yang membungbung tinggi, asap yang bersumber dari sebuah ambulance yang hancur karena terkena hantaman rudal Israel, ini yang kedua kalinya Hanan melihat sebuah ambulance dibombardir oleh tentara Israel, padahal para tentara Zionis itu tahu ambulance adalah bagian dari misi kemanusiaan yang dilarang untuk dihancurkan. Keberutalan mereka dan keberingasan mereka tidak menggambarkan apa yang selama ini dikatakan oleh mereka, bahwa Israel adalah negara yang menjungjung tinggi HAM.
Hanan masih berdiri menatap kearah pembangunan sebuah rumah sakit yang sebentar lagi akan rampung. Batinnya masih mengutuk dirinya sendiri, karena ia telah berbohong kepada orang-orang yang sangat mencintainya, didepan Yusuf dan pak Patria ia selalu menunjukan wajah cerianya dan berkata bahwa penyakitnya telah sembuh, namun gejala-gejala yang dirasakannya akhir-akhir ini semakin terasa lebih keras, bahkan ia sering merasakan sakit kepala yang sangat berat. Tapi Hanan selalu menutupinya, tak ingin orang-orang lain tahu tentang keadaan dirinya yang sebenarnya.
“Hanan, kau dipanggil oleh pak Patria, beliau menunggumu di saung belakang masjid” sapa seorang relawan lain yang juga sudah dikenal oleh Hanan.
“syukran wa jazakallah, Radit. Insya Allah sebentar lagi saya segera kesana” jawab Hanan dengan senyum khasnya.
Hanan pun berlalu menuju saung yang dulu dibangun oleh mereka, saung kecil dibelakang masjid tempat mereka beristirahat melepas lelah setelah beraktivitas. Samar-samar dari kejauhan Hanan bisa mendengar pak Patria sedang membaca al-qura’an. Namun pandangannya tak seperti pendengaranya tatapan matanya kabur tak bisa melihat dengan jelas bahwa pak Patria yang sedang duduk dan membaca al-qur’an pun sedang menatap kearahnya.
“Assalamu ‘alaikum pak. Radit bilang tadi bapak memanggil saya” ucap Hanan
“Wa ‘alaikum salam warahmatullah, Benar Hanan, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan padamu, saya kira ini penting, makanya saya hanya ingin kita mengobrol secara empat mata” balas pak Patria
“Hanan, bulan depan saya dan Yusuf akan pergi  keTurki untuk menghadiri konfrensi Freedom to Palestine,  rencanaya kita satu minggu disana. Insya Allah disana juga kita akan bertemu dengan ikhwah relawan yang lain. Hanan, berapa umurmu sekarang? Apakah kau sudah ada rencana untuk menikah?” lanjut pak Patria sambil bertanya kepada Hanan yang dilihatnya masih tertunduk. Mendengar pertanyaan dari pak Patria Hanan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
“Semoga perjalanan bapak dan Yusuf lancar, dan bisa menyampaikan apa yang dirasakan oleh penduduk Palestin saat ini, terutama para penduduk Gaza. Usia saya sudah masuk dua puluh enam pak, dan untuk pertanyaan bapak yang terkahir, saya tidak tahu harus jawab apa. Karena setiap orang yang sudah saatnya menikah pasti memiliki rencana kesana. Kalau saya boleh tahu kenapa bapak bertanya seperti itu?” jawab Hanan sambil balik bertanya.
“Hanan, saya hanya ingin meminta kepastianmu saja, jika kau sudah siap, saya akan meminangkan salah satu relawan akhwat untukmu, insya Allah di Turki nanti ada beberapa akhwat dari Indonesia yang juga hadir di konfrensi itu dan mereka sudah siap jika harus bergabung bersama kita disini . Dan salah satu alasan saya mengajak Yusuf adalah karena Yusuf pernah mengutarakan keinginannya untuk menikah. Insya Allah, kalau Allah menghendaki dia akan menikah di Turki dengan seorang muslimah asal Bali yang juga seorang dokter”.  Mendengar Ucapan pak Patria Hanan tersenyum bahagia, karena sahabat dekatnya akan segera menggenapkan separuh agamanya. Namun ia juga merasakan ada serpihan perih yang jatuh kedalam sanubarinya dan perlahan menyayat rongga –rongga hatinya, dengan keadaannya saat ini, meskipun ia selalu berusaha untuk tegar dan bersemangat namun kali ini ia merasa dihadapkan pada sebuah jalan buntu yang menghancurkan seluruh impianya. Tapi cahaya harapan yang bersinar dalam hatinya tak pernah ia padamkan, karena Hanan Yakin Allah lah yang telah merencanakan semua ini untuknya. Dan ia juga selau berdoa dan berharap kepada Allah jika akhir cerita hidupnya akan indah. Karena Allah lah tempat sebenar-benarnya untuk melabuhkan sebuah harapan.
“Pak, saya mengucapkan banyak terima kasih atas ketulusan dan niat baik bapak. Kalau saya boleh meminta saya akan menikah jika Yusuf sudah menikah. saya akan menunggu yusuf terlebih dahulu, insya Allah jika Yusuf sudah menikah saya akan menyusulnya” jawab Hanan dengan nada suaranya yang sedikit bergetar.
“jika seperti itu keinginanmu, akupun tidak bisa memaksa. Karena kau yang lebih tahu tentang dirimu Hanan”. Jawab pak Patria. Setelah tidak ada lagi yang dibicarakan Hananpun mohon diri dari hadapan  pak Patria, sebenarnya ia ingin bercerita tentang keadaan dirinya tapi ia mengurungkan kembali niatnya.
Esoknya, semua orang yang berada ditempat pembangunan rumah sakit indonesia dijalur Gaza dihebohkan oleh Hanan yang tiba-tiba jatuh tidak sadarkan diri, Yusuf dengan beberapa orang yang melihat Hanan terjatuh, langsung membawanya kesebuah tenda darurat untuk segera diperiksa. Pak Patria dan Yusuf sangat kaget ketika mengetahui  bahwa Hanan ternyata selama ini menutupi keadaan tubuhnya. Gangguan syaraf yang ada ditubuhnya sudah memasuki tarap kronis, padahal seminggu yang lalu ketika Yusuf memeriksanya gangguan syarafnya masih sub akut. Yusuf menyarankan agar Hanan segera dirujuk kerumah sakit yang lebih memadai di Ramalah, tapi Pak Patria tidak sependapat dengan Yusuf ia lebih memilih agar melihat kondisi Hanan sampai  besok,  mengingat hari ini tidak ada ambulance yang terparkir diposko kesehatan. Dan juga perjalanan ke Ramalah tidaklah mudah, di Asqolan dan juga Syudud banyak pos-pos yang dijaga ketat oleh para tentara Zionis, tentara yahudi itu pasti tadak akan memperbolehkan mereka lewat.  “Yusuf, bila besok keadaan Hanan semakin memburuk baru kita akan membawanya ke rumah sakit Syifaa’. Rasanya tidak mungkin kita membawanya ke Ramalah. Karena para tentara Zionis itu pasti tidak membolehkan lewat. ” ujar pak Patria sambil memeriksa keadaan Hanan.
Suasana sore itu masih bergelimang duka, membuat Yusuf hampir kehilangan konsentrasinya. Ia masih memikirkan Hanan yang tak mau terbuka padanya. Wajahnya terlihat keruh, ia tak menduga jika sahabatnya akan melakukan hal yang menurutnya tidak harus dilakukan. Jika keadaannya seperti ini berarti Hanan tidak percaya kepadanya, namun rasa buruk sangka yang terbesit didalam hatinya langsung ia tepis. Pasti Hanan memiliki sebuah alasan kenapa selama ini ia harus membohonginya. Emosi Yusuf sempat naik ketika pertama kali mengetahui keadaan Hanan yang sebenarnya, namun rasa cinta yang tumbuh dari persahabatan mereka mengalahkan semuanya. Sebaliknya Yusuf malah semakin bersemangat untuk bisa menyembuhkan sahabatnya itu. Dalam hatinya Yusuf sudah bertekad akan melakukan apa saja demi kesembuhan sahabat baiknya itu. Ia berharap semoga Hanan tidak putus asa ketika ia tahu kalau kaki dan tangannya sudah tidak bisa digerakan lagi.
Didalam kamarnya yang kecil pak Patria pun masih terlihat sedih, pembicaraan kemarin malam dengan Hanan terniang kembali dibenaknya. “Mungkin ini alasan Hanan mengapa ia mengambil keputusan seperti kemarin” bisiknya dalam hati, Pak Patria pun sama seperti Yusuf ia yakin masih ada jalan untuk bisa menyembuhkan Hanan. Ia sangat yakin Allah maha penyayang terhadap hamba-hambanya yang sholeh dan taat dalam menjalankan perintahnya.
“Hanan, saya harap kau tabah menghadapi ujian ini. Allah lebih sayang padamu makanya Dia memilihmu untuk mengemban kadar ujian yang lebih ini” lirih pak Patria yang melihat Hanan masih taksadarkan diri dengan wajahnya yang sedikit pucat.  Siang itu pak Patria sudah berada disamping Hanan, Yusuf yang dari kemarin menginginkan agar Hanan dirujuk kerumah sakit yang lebih lengkap di Ramalah, terpaksa harus mengurungkan niatnya. Karena seperti yang dikatakan pak Patria, rasanya tidak mungkin membawa Hanan ke Ramalah. Melihat keadaan Gaza yang terkepung oleh oleh para tentara Zionis. Namun Yusuf  langsung membawanya kerumah sakit syifaa’ ketika ia berhasil menghubungi sebuah ambulance yang belum beroprasi. Sekarang ia berada disebuah lab rumah sakit, membuka-buka sebuah buku dan laptopnya. Ia masih mencari jalan bagai mana caranya bisa mengobati Hanan tanpa harus menggunakan obat-obatan kimia. Jika Hanan meminum obat-obatan yang sudah bercampur Zat kimia itu malah akan memperburuk keadaannya. Ternyata selama ini Hanan terlalu lelah, bukan hanya pikirannya tapi seluruh syaraf-syaraf dalam tubuhnyapun harus  beristirahat. Ia teringat kembali cerita Hanan bahwa sejak kecil Hanan sudah sering sakit-sakitan, sejak lahir tubuhnya sudah kekurangan anti biotik. Namun karena terlalu sering mengkonsumsi obat-obatan kimia anti biotik dan anti anargesif dalam tubuhnya malah semakin over.
Setelah berhasil menemukan apa yang dicarinya. Yusuf bergegas mencari tempat dimana ia bisa mendapatkan obar-obatan herba itu. Sebelum keluar rumah sakit ia menyempatkan untuk melihat Hanan. Beruntung pak Patriapun masih ada disana, Yusuf pun bisa bertanya pada beliau dimana ia bisa mendapatkan obat-obatan herba itu.
“Pak, di Gaza ini, dimana kita bisa menemukan buah Zaitun dan habbatu sauda?” tanya Yusuf dengan sedikit terburu-buru
“Apakah kau akan mengobati Hanan dengan herba”  pak Patria balik bertanya
Mendengar pertanyaan pak PatriaYusuf hanya menganggukan kepalanya.
“sebenarnya sayapun sudah berpikiran seperti itu, untuk habbatu sauda kau tidak perlu mencarinya, kebetulan saya masih menyimpan sekitar satu kilo setengah dan masih ada beberapa botol minyak zaitun yang aku dapatkan dari seorang relawan asal Mesir, coba kau cari saja madu dan teh chamomik. Oh iya, jangan lupa juga dengan minyak sinsim. Kau bisa mendapatkan benda-benda yang aku sebutkan tadi diapotik dibelakang rumah sakit ini” sambung pak Patria.
“Terima kasih pak, insya Allah saya akan segera kembali” jawab Yusuf
Namun Yusuf kembali harus menelan ludah, barang-barang yang dicarinya tidak semuanya ada, Alhamdulillah, bapak tua yang menjaga apotik menyimpan madu dirumahnya, dan bersedia memberikannya kepada Yusuf ketika Yusuf memintanya.
Tiga hari berlalu, keadaan Hanan perlahan mulai membaik walaupun kini ia harus duduk diatas kursi roda, namun sedikitpun Hanan tidak pernah mengeluh. Yusuf dan pak Patria yang melihat ketabahan dan ketegaran Hanan tersenyum bangga bercampur haru. Yusuf sendiripun tidak pernah lelah membantu Hanan dalam terapi penyembuhannya, hampir setiap hari setelah menyelesaikan tugasnya  Yusuf selalu berada dibelakang Hanan mendorong kursi rodanya dan bercerita tentang anak-anak Gaza yang mulai merasa kehilangan Hanan.
“Hanan, kali ini aku melihat sosok Syaikh Ahmad Yasin didirimu, meskipun kau berada diatas kursi roda kau masih mencurahkan tenaga dan pikiranmu untuk tetap berada dijalan jihad, aku iri dengan semangat juangmu yang tak pernah luntur” ucap Yusuf ketika mendorong kursi roda Hanan, Hanan yang mendengarnya lalu tertawa kecil.
“Kau tahu Yusuf, apa yang dilakukan oleh sayidina Ali bin Abi Tholib ketika ia mendengar seseorang memujinya didepan kedua matanya?” tanya Hanan masih dengan senyumnya, Yusuf hanya menjawab dengan gelengan kepala.
“Beliau melempar orang itu dengan sendalnya sendiri, kalau saya sekarang memakai sendal pasti saya juga akan melemparkannya padamu” lanjut Hanan lalu disambut tawa oleh Yusuf
“hahaha, jika kau berani melemparku maka aku  akan meninggalkanmu”  jawab Yusuf sekenanya, Hanan yang mendengar jawaban Yusuf yang tidak biasanya itu langsung menoleh kearahnya, namun Yusuf masih tetap membalasnya dengan senyum.
“oh iya Hanan, apakah kau sudah mendengar berita dari pak Patria bahwa acara di Turki nanti di undur, para relawan asal Turki ingin mengadakan acara itu bertepatan dengan peristiwa mavi marmara” lanjut Yusuf.
“benarkah? Aku belum mendenger kabar itu dari pak Patria, mmm.. aku mengerti, belakangan ini kau  terlihat murung karena bulan depan ini kau tak jadi meminang bidadari dari Bali pilihan pak Patria” jawab Hanan
“hehe.., bukan seperti itu Hanan, aku malah ingin kau yang pergi kesana” sambung Yusuf
“kenapa?” balas Hanan, kali ini ia minta Yusuf menghentikan dorongan kursi rodanya.
Yusuf terdiam, perasaannya seperti berat untuk mengungkapkan isi hatinya. “Tidak apa-apa, aku hanya ingin memberikan sebuah hadiah indah untukmu” jawab Yusuf, Hanan semakin tak mengerti dengan maskud sahabatnya itu.
Waktu terus berjalan, rentetan peristiwa di Gazapun tidak pernah berhenti, hampir setiap hari selalu ada peristiwa memilukan, yang tak pernah terekspos keluar. Kali ini Gaza seperti terlupakan, dalam pergolakan Timur Tengah yang membuat dunia terkejut, Arah perpolitikan kini berubah, sorotan duniapun kini berpindah ke Syiria, Libia, Tunisia dan Mesir. Padahal hari inipun pesawat-pesawat tempur israel masih menggempur Gaza. Dikamarnya yang kecil Hanan sedang berlatih berjalan, ia bersyukur karena tubuhnya hampir sembuh, ia juga sangat berterima kasih kepada pak Patria dan juga Yusuf, yang telah bekerja keras membantu penyembuhannya. Ketika Hanan menyampaikan rasa terima kasihnya kepada kedua orang yang sangat dicintainya itu mereka hanya menjawab” ini semua adalah kehendak Allah, kau cepat sembuh karena Allah sayang padamu Hanan”. Inilah yang membuat Hanan semakin menyayangi mereka, tapi sudah tiga hari ini Hanan tak melihat Yusuf, ia sudah sangat merindukan suara Yusuf ketika mengingatkannya untuk meminum obatnya.
“tok.. tok.. tok..” Hanan berhenti berjalan ketika mendengar suara pintu kamarnya diketuk oleh seseorang. Sambil sedikit tertatih ia berusaha untuk membuka pintu kamarnya, Hanan sedikit terkejut ketika mengetahui orang yang mengetuk pintu kamarnya adalah pak Patria.
“pak Patria, ada apa pak pagi-pagi seperti ini sudah berziarah kekamar saya” tanya Hanan
“Hanan, pagi ini setelah shalat subuh sebuah ambulance yang membawa pasien menuju rumah sakit Syifaa’ hancur diserang oleh helikopter apache tentara Zionis, semua penumpang yang ada di ambulance itu tewas. Dan Yusuf, adalah salah seorang yang berada didalam ambulance itu” jawaban pak Patria membuat Hanan sangat terpukul, hatinya remuk redam. Ia berusaha menahan tangisnya dan berusaha untuk tetap tersenyum karena sahabatnya itu telah mendapatkan apa yang dicita-citakannya, tapi Hanan tetap tak bisa membendung air matanya, rasa haru dan sedihnya merobohkan pertahanannya.
“Hanan, tenangkan dirimu! Insya Allah kitapun akan mendapatkan giliran yang sama seperti Yusuf, kita hanya tinggal menunggu waktu” sambung pak Patria.
Satu bulan berlalu, setelah syahidnya Yusuf, Hanan malah semakin bersemangat  menjalani hidupnya. Bagi Hanan, Yusuf tidak pernah mati ia tetap hidup didalam hatinya, menjadi sosok teladan seorang sahabat sejati, “Hanan, meski kita bukan saudara kandung, tapi diakhirat nanti aku ingin kau menjadi penolongku dari jilatan api neraka, dan aku juga berharap aku bisa menjadi penolongmu, kita saling menolong degan keimanan kita, karena orang-orang yang beriman kelak akan memberikan syafaat. Kau pun pasti sudah mendengar haditsnya  “Lalu para Nabi memberikan syafaat, demikian pula para malaikat dan orang-orang beriman. (HR.al-Bukhari dan Muslim)” kata-kata Yusuf kembali terniang dibenak Hanan.
Hanan sangat merasa kehilangan Yusuf. Tapi bermuram durja dan terus berduka cita bukanlah sifat seorang muslim. Apa lagi Yusuf meninggal dalam mengemban tugas yang sangat mulia dan berada dibumi jihad yang selalu dirindukan oleh setiap muslim yang bercita-cita mendapatkan syahid diakhir hayatnya. Keadaan Hanan sekarang sudah benar-benar sembuh total, ia pun semakin hari semakin giat dalam memberikan bantuannya kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan. Seolah-olah Hanan sedang mengumpulkan sebuah bekal yang suatu saat akan ia persembahkan kepada Dzat yang maha mengetahui alur jalan hidupnya.
“Hanan, akhir-akhir ini saya lihat kau semakin bersemangat menjalani hari-harimu” sapa pak Patria yang melihat Hanan sedang membereskan sebuah file-file dan dokumen dikantor tempat ia bertugas.
“eh bapak, saya hanya teringat Yusuf pak. Saya takut ketika saya dipanggil oleh sang Kholiq saya belum menyiapkan bekal apa-apa” jawab Hanan sedikit kagaet ketika mengetahui pak Patria sudah berada dibelakangnya.
“Bagus Hanan, saya suka dengan pemuda yang penuh semangat sepertimu. Oh iya Hanan, saya ingin menyampaikan sesuatu kepadamu, lusa setelah peresmian rumah sakit, saya dan kau akan berangkat ke Turki. BSMI pusat sudah menginformasikanya seminggu yang lalu, saya minta maaf karena terlambat mengabarimu, saya harap kau bisa bersiap-siap dari sekarang” tutur pak Patira, mendengar penjelasan pak Patria Hanan teringat kembali perkataan Yusuf sebulan yang lalu, waktu itu Yusuf ingin sekali Hanan yang pergi menghadiri acara konfrensi freedom to Palestine di Turki, karena ia memiliki sebuah hadiah indah yang harus ia berikan kepada Hanan. Mungkin sekaranglah saat yang tepat untuk mengungkapkan rasa ketidak tahuannya dan rasa penasarannya.
“insya Allah pak saya akan bersiap-siap. Tapi sebelumnya pak, ada sesuatu yang  ingin saya sampaikan juga kebapak. Sebulan yang lalu saya dan Yusuf pernah berbincang mengenai acara konfrensi di Turki. Waktu itu, Yusuf ingin sekali saya yang pergi menghadiri acara itu, dengan alasan ia mempunyai sebuah hadiah indah yang akan diberikannya kepadaku. Sampai sekarang saya tidak mengerti maksud dari ucapan Yusuf itu. Apakah sebelum ini Yusuf pernah berbicara sesuatu dengan bapak mengenai hal ini?” sedikit tersendat Hanan mencoba untuk mengungkapkan apa yang tidak diketahuinya tentang maksud dari perkataan Yusuf yang pernah disampaikan kepadanya waktu Yusuf masih ada disisinya.
“Hanan, hal ini juga sebenarnya yang ingin saya bicarakan denganmu, dulu ketika saya mengajak Yusuf ke Turki ia menolak dan memohon kepadaku  agar kau saja yang pergi ke Turki bersamaku. Namun saya tetap memintanya menemaniku karena di Turki juga kita akan membahas  beasiswa untuk mahasiswa Gaza yang akan dikuliahkan difakultas kedokteran, di Mesir dan di Sudan, karena aku tahu Yusuf memiliki maklumat lebih tentang ilmu kedokteran” Hanan tidak terlepas dari setiap kata yang diucapkan oleh pak Patria, ingatannya kembali kepada Yusuf, seolah baru kemarin ia bercengkrama dengannya, mendorong kursi rodanya.
“Hanan, pertama aku melihat kalian, aku sudah terpesona oleh akhlak dan keimanan kalian, dari situlah saya berharap dan memiliki rencana untuk menikahkah kalian dengan kedua keponakanku. Yusuf sudah setuju  aku nikah kan dengan salah satu keponakan ku yang juga seorang dokter lulusan UNISSULA (Universitas Islam Sultan Agung) Semarang. Aku kira mereka cocok karena sama-sama seorang dokter.  Namanya Laras, dulu ia tinggal bersamaku di Semarang, tapi setelah selesai kuliah ia pulang kembali ke Bali mengabdi dan berdakwah disana” sejenak pak Patria berhenti dan menatap ke arah jalan yang mulai ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang, Hanan masih tetap serius mendengarkan setiap perkataan pak Patria.
“Tapi Yusuf merasa keberatan ketika aku menyampaikan niatku untuk menikahkan kau dengan adiknya Laras, seorang sarjana hukum Islam UMJ yang sekarang sedang mengambil master ekonomi syariah di Jakarta. Karena Yusuf telah menyiapkan seorang bidadari untukmu, adik Yusuf sendiri. Seorang dokter satu universitas dengan Yusuf dulu di FKUI. Namanya  Aneesah Farhana. Kau pasti sudah tahu Hanan, Yusuf dan adiknya adalah seorang Mualaf. Aneesah memeluk Islam lebih dulu dari pada Yusuf, semenjak SMA ia sudah menyukai Alqur’an dan sekarang hafalan qur’annya sudah sampai 15 juz. Aku tahu banyak tentang mereka karena aku sendiri yang membimbing mereka bersyahadat. Aneesah lah yang dimaksud hadiah indah itu Hanan. Insya Allah ia juga akan berangkat ke Turki untuk mengikuti acara konfrensi Freedom to Palestine. Kalau kau berkenan kau bisa langsung menikah dengan Aneesah di Turki nanti. Dan inilah yang diharapkan oleh Yusuf sebelum ia syahid”. Pak Patria menghentikan ceritanya, Hanan sendiri masih terdiam berusaha mencerna semua yang dikatakan oleh pak Patria tadi, bayangan wajah Yusuf kini tergambar jelas dibenaknya.
 Ada rasa penasaran yang mengganjal dihati Hanan yang perlahan semakin membesar dan menjadi sebuah pertanyaan, rasa penasarannya semakin menjadi ketika pak Patria memberikan sebuah buku kepadanya.
“Apa ini pak?” tanya Hanan
“Ini adalah buku harian Yusuf. Ambilah! didalamnya ada foto Aneesah, insya Allah kau tidak menyesal Hanan, karena Yusuf benar-benar menghadiahkan bidadari untukmu, kau tidak usah heran Hanan, karena Aneesah sendiri sudah tahu banyak tentang mu, Yusuf selalu bercerita tentang mu pada Aneesah, dan kemarin aku baru mengirimkan fotomu kepadanya, karena ia ingin tahu bagaimana rupa calon suaminya” jawab pak Patria dengan senyum yang tergambar diwajahnya.
Rasa penasaran Hanan mulai terkikis, semua pertanyaan yang mengganjal dihatinya sudah terjawab. Pembicaraan kemarin dengan pak Patria telah memberikan semangat baru untuk Hanan. Dan besok ia akan berangkat ke Turki, selain untuk memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina ia juga akan menjemput bidadarinya, hadiah terindah dari seorang sahabat yang dipertemukan oleh Allah dan berpisahpun karena Allah. Dalam temaram senja Hanan masih membuka dan membaca tulisan-tulisan yang ada didiari berwarna hijau tua itu. Dilembaran pertama Hanan sudah dikejutkan oleh semangat juang Yusuf yang ia tuliskan dalam kata-kata berbahasa Arab “Muqoowamah hatta Nashr” disana juga ia melihat tulisan-tulisan Yusuf yang bercerita tentangnya. dan yang paling membuat Hanan terharu adalah tulisah terakhir Yusuf sebelum ia syahid.
“Ya Allah, Syahid adalah cita-citaku yang selalu mengalun dalam jeritan tangis doaku, maka masukanlah aku dalam golongan orang yang mati dijalanmu, dan mati dalam keadaan mensucikanmu. Hari ini, besok ataupun lusa maut pasti akan menjemput setiap makhluk yang bernyawa. Rinduku dan cintaku lebih luas kepadamu, namun akupun tidak menyangkal akan rindu dan cintaku pada kedua orang tuaku, tunjukanlah hidayahmu pada mereka, hingga kamipun bisa berkumpul disurgamu kelak. Dan jika engkau mengizinkanku untuk meminta, berikanlah sosok mujahid tangguh untuk adikku, sosok seperti Hanan yang juga bisa menguatkannya untuk selalu istiqomah dijalanmu”
 Lalu sebuah foto ukuran 4x6 yang tidak bisa ditatap lama oleh Hanan, gambar seorang gadis yang berkerudung ping dengan senyumnya  yang manis dan matanya yang sedikit sipit, percis seperti mata Yusuf.
Dan senjapun semakin tenggelam, membawa rindu bagi mereka yang memiliki kisah dalam indah warnanya.
Zagazig/31/03/012
 
 
 
 
 
 

0 komentar

Posting Komentar